Dilema Sulit Irak Hadapi Milisi Bersenjata Pro-Iran
- dw
Analis politik Timur Tengah, Hamdi Malik, bahkan menilai misi tersebut mustahil dilakukan. Dalam tulisannya untuk lembaga pemikir AS, Atlantic Council, dia meyakini “kelompok seperti Kataib Hizbullah tidak akan secara sukarela atau melalui perundingan, bersedia untuk menyerahkan senjata.”
Menurutnya para gerilayawan “meyakini sedang menjalankan misi suci,” dan mendefinisikan diri sebagai bagian dari “Poros Perlawanan” yang digalang Iran. “Adalah naif untuk meyakini bahwa Kataib Hizbullah atau milisi Irak lain akan mau berkompromi tanpa tekanan yang serius.”
Kataib Hizbullah belakangan tidak lagi aktif membantu serangan terhadap fasilitas milik Amerika Serikat.
Reaksi pemerintah Irak
Untuk membatasi keran pendanaan bagi milisi di Irak, Perdana Menteri al-Khadimi, menempatkan orang kepercayaannya di posisi penting, seperti di Badan Antiteror dan Bank Sentral Irak, serta sejumlah institusi keuangan lain.
Para pejabat yang digeser sejak lama dituduh menyuburkan praktik korupsi dan pendanaan teror karena menikmati keuntungan dari transaksi keuangan yang melibatkan milisi bersenjata atau aliran dana gelap untuk partai politik.
Selebihnya tidak banyak reaksi yang ditunjukkan pemerintah Irak. Juni silam, militer menyerang salah satu markas Kataib Hizbullah dan menangkap belasan gerilyawan. Serangan tersebut termasuk satu dari sedikit operasi militer yang dilancarkan Irak terhadap milisi pro-Iran.
Al-Khadimi yang baru menjabat sejak Mei silam, diangkat lewat pengaruh kuat Iran dan atas persetujuan AS. Posisnya berada di titian antara kepentingan kedua negara. Meski bergantung kepada Washington, Irak menghadapi derasnya desakan Iran yang berpengaruh menjalankan roda ekonomi dan stabilitas keamanan.
Milisi di bawah tekanan