Logo ABC

Krisis Politik Mendera Malaysia di Tengah Pandemi COVID-19

Malaysia sejauh ini relatif berhasil menangani penularan kasus COVID-19 dengan hanya 13 ribu kasus.
Malaysia sejauh ini relatif berhasil menangani penularan kasus COVID-19 dengan hanya 13 ribu kasus.
Sumber :
  • abc

Krisis politik kembali terjadi di Malaysia di saat negeri itu juga menghadapi peningkatan kasus baru COVID-19, dengan salah seorang yang positif adalah Menteri Agama Zulkifli Al-Bakri.

Krisis politik di Malaysia: 
- Kabinet Malaysia menjalani isolasi setelah Menteri Agama positif COVID-19
- Pengangkatan Anwar Ibrahim sebagai PM memerlukan restu Sultan yang sakit di saat Anwar mengatakan memiliki mayoritas
- Pemerintahan PM Muhyiddin mungkin akan mengumumkan pemilu baru di tahun 2020

Hari Senin (5/10), negara tersebut mencatat 432 kasus baru, dengan tiga di antaranya berasal dari luar negeri.

Menteri Urusan Agama Malaysia Zulkifli Mohamad Al-Bakri mengumumkan dirinya positif mengidap COVID-19.

Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dan sebagian besar anggota kabinetnya sedang melakukan karantina mandiri selama 14 hari sebagai tindakan berjaga-jaga setelah sebelumnya mengadakan kontak dekat dengan Zulkifli.

"Saya akan tetap bekerja dari rumah dan menggunakan pertemuan video untuk rapat-rapat yang harus saya lakukan," kata PM Muhyiddin dalam sebuah pernyataan.

Semua ini terjadi di tengah memanasnya situasi politik di sana.

Tokoh yang sudah lama menjadi oposisi di Malaysia, Anwar Ibrahim, akhir September lalu mengatakan telah memegang dukungan mayoritas parlemen sehingga bisa menggantikan Muhyiddin sebagai Perdana Menteri.

Malaysia s opposition leader Anwar Ibrahim smiles and gestures as he leaves a press conference. Anwar Ibrahim sekarang mengatakan memiliki mayoritas di parlemen sehingga harus diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan Muhyiddin Yasin. (AP: Vincent Thian)

"Kami memiliki [dukungan] mayoritas yang kuat dan dahsyat ... yang berarti pemerintahan Muhyiddin sudah jatuh," katanya.

Perdana Menteri hanya bisa diangkat setelah mendapat mandat dari Yang Dipertuan Agung Malaysia.

Namun, Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah yang berkuasa saat ini, belum bisa bertemu Anwar Ibrahim karena masih dirawat di rumah sakit akibat keracunan makanan.

Ketika Perdana Menteri Muhyiddin mengambil alih jabatan bulan Februari setelah mengklaim mendapat dukungan mayoritas di parlemen, Yang Dipertuan Agung mengadakan pembicaraan langsung dengan 221 anggota parlemen untuk mengukuhkan apakah mereka memang mendukung Muhyiddin.

Hal ini menimbulkan spekulasi apakah Sultan Abdullah memang benar-benar sakit sehingga perlu dirawat minggu lalu.

"Saya merasa bahwa tidak semua orang di UMNO atau di partai lain mendukung Anwar Ibrahim," kata Ibrahim Suffian, pengamat politik di Merdeka Centre, Kuala Lumpur kepada ABC.

UMNO, atau "United Malays National Organisation", yang berkuasa di Malaysia sejak merdeka sampai tahun 2018, tetap menjadi lawan yang tangguh dalam dunia politik negara tersebut.

Ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri UMNO di bawah pemerintahan Mahathir Mohamad, Anwar berkesempatan besar untuk mengambil posisi perdana menteri.

Namun, ia harus dipenjara pada tahun 1998 atas tuduhan korupsi dan sodomi yang diduga merupakan rekayasa.

"Anwar belum menunjukkan atau menyebut nama siapa saja yang mendukungnya. Mungkin ia sengaja tidak mengungkapkannya sampai bertemu dengan Sultan," kata Ibrahim Suffian.

Malaysian Prime Minister Muhyiddin Yassin makes a speech alongside two Malaysian flags. Muhyiddin Yassin menjadi Perdana Menteri Malaysia menggantikan Mahathir Mohamad bulan Februari lalu. (AP: UNTV)

"Ini adalah waktu menunggu dan melihat apakah benar Anwar Ibrahim memiliki dukungan mayoritas yang katanya sudah didapatkan."

Muhyiddin mengatakan ia masih merupakan Perdana Menteri yang berkuasa, sampai ada bukti sebaliknya.

Hasil pemilihan lokal di negara bagian Sabah di Pulau Kalimantan, di mana partai-partai yang mendukung Muhyiddin menempati posisi teratas, memperkuat keraguan akan pernyataan Anwar Ibrahim.

Kasus COVID-19 di Malaysia masih relatif stabil

Malaysia yang memiliki populasi penduduk sebanyak 32 juta orang, sudah menerapkan "lockdown" ketat di awal pandemi.

Karenanya negara yang sempat menjadi episentrum di Asia Tenggara tersebut berhasil menekan penyebaran COVID-19.

Kasus positif yang tercatat resmi sejauh ini adalah 13 ribu, dengan 137 kematian.

Ini terjadi bahkan di saat Malaysia sempat tidak memiliki menteri kesehatan beberapa saat ketika pemerintahan Mahathir Mohamad digantikan oleh Muhyiddin bulan Februari lalu.

"Ada dua masalah yang berbeda, politik sehari-hari di satu sisi, dan pandemi di sisi lain," kata Sin Yee Koh, dosen senior di Monash University, Malaysia.

"Situasi pandemi bisa ditangani menggunakan metode ilmiah, seperti tes, pelacakan, pembatasan perjalanan, perawatan kesehatan, komunikasi yang konsisten, dan yang lainnya," katanya.

Komunikasi konsisten yang dimaksudkan adalah penekanan berulang-ulang akan protokol keamanan dan kebersihan pribadi, serta prosedur pelaksanaan standar.

"Dan sejauh ini usaha ini cukup terkoordinasi dengan baik," katanya.

A woman castes a vote at a polling station during a state election on the outskirts of Kota Kinabalu, Malaysia. Pemilihan lokal di negara bagian Sabah baru-baru ini dimenangkan oleh koalisi yang mendukung pemerintahan PM Muhyiddin Yassin. (AP)

Namun, pemilihan lokal di Sabah kelihatannya telah menyebabkan peningkatan kasus virus corona.

Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah, memperingatkan "awal dari gelombang penularan baru".

"Untuk melandaikan kurva, semua kembali kepada kita. Kita sudah pernah berhasil sebelumnya, dan kita bisa melakukannya lagi," katanya.

Dengan hasil pemilihan di Sabah, yang dimenangkan oleh koalisi pemerintahan saat ini, Pemerintah nasional dapat mengumumkan pemilihan cepat di tahun 2020.

Namun, usulan seperti itu ditentang kemungkinannya oleh Mahathir Mohamad.

"Saya yakin kalau pemilihan umum dilakukan sekarang, banyak orang yang akan terpapar COVID-19, banyak yang akan meninggal," katanya seperti dikutip kantor berita Malaysia Bernama.

"Pertanyaannya adalah apakah kita mengedepankan prioritas politik, atau nyawa manusia."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari artikel ABC dalam bahasa Inggris di sini.