Kisah Mengerikan Wabah Sampar 1665 di London
- dw
Pada akhir September 1665 di sejumlah jalan sempit di kota London, terlihat petugas mengemudikan kereta kuda atau mendorong sebuah gerobak. Di dalam gerobak itu telah ada beberapa tumpuk mayat. Menyusuri satu jalan ke jalan lain, para petugas berteriak lantang “bring out your dead!” - memperingatkan para warga untuk tidak berlama-lama menyimpan anggota keluarganya yang telah tiada di dalam rumah.
London saat itu memang tengah di puncak wabah pes atau sampar. Media Inggris BBC mencatat bahwa pada September 1665, sedikitnya 7.000 orang meninggal tiap minggunya di London akibat wabah ini.
Untuk menghindari wabah, transportasi air menjadi andalan utama warga yang terpaksa bepergian ke tempat kerja, seperti yang dituliskan oleh seorang warga London yang bernama Samuel Pepys.
“Bangun pukul 5, sangat takut akan penyakit, tapi harus pergi lewat jalur air, membukus diriku dengan hangat, ke Menara … menemukan (laporan) 8.252 orang telah tewas, dan 6.878 dari mereka tewas karena wabah; angka yang paling mengerikan, dan memberi alasan untuk merasa takut bahwa wabah ini masih akan berlanjut di sini,” tulis Samuel Pepys dalam catatan hariannya pada tanggal 7 September 1665.
Hidup dan bekerja dalam kepungan wabah
Samuel Pepys (1633-1707), pegawai administrasi di Angkatan Laut Inggris, tidak pernah menyangka bahwa buku harian yang rutin ia tulis menjelang tidur akan menjadi salah satu catatan penting sejarah. Buku hariannya ini kembali dikutip media setelah dunia dilanda pandemi corona sejak awal 2020.
Samuel Pepys lahir dari keluarga penjahit pakaian di London. Namun demikian, keluarga besarnya masih tergolong orang berpengaruh dan memiliki jabatan. Meski tidak memiliki pengalaman langsung di bidang maritim, berkat kerja keras dan sejumlah koneksi, Pepys berhasil menjabat sebagai sekretaris utama angkatan laut Inggris pada saat itu.
Pepys mulai menuliskan perasaan cemas dan khawatir akan adanya krisis akibat wabah sampar pada April 1665. Saat itu, dalam perjalanannya menuju kantor, Pepys kerap melihat pintu-pintu rumah ditandai cat merah, yang mengindikasikan ada penghuni yang terjangkit sampar. Rumah-rumah itu pun ditutup untuk karantina guna memperlambat sebaran penyakit. Namun makin lama, jumlah korban jiwa semakin bertambah. Dalam buku hariannya, Pepys lantas memohon kasih sayang dan ampunan Tuhan.
Ketika para kenalan dan kerabat mulai mengungsi ke daerah pedesaan, Pepys tetap bertahan di London. Namun hari demi hari ia melihat mayat-mayat ditumpuk begitu saja sebelum dibawa ke tempat pemakaman. Sejumlah kenalan, bahkan dokternya sendiri menjadi korban wabah.
Merasa dikelilingi oleh kematian, pada 16 Agustus 1665 Pepys menuliskan surat wasiat, salah satunya untuk dikirimkan kepada istrinya apabila ia meninggal dunia. Selesai menulis surat wasiat, ia pergi ke kantor bursa yang sudah lama tidak ia kunjungi. Betapa kaget ia saat melihat jalan-jalan sepi karena karantina dan banyaknya rumah yang diberi tanda silang merah.
“Tapi, Tuhan! Betapa menyedihkan pemandangan itu, melihat jalan-jalan kosong tanpa ada orang-orang,” tulis Pepys, menggambarkan sejumlah toko-toko yang juga ikut ditutup. Suasana yang ia gambarkan ini terasa mirip masa lockdown yang dialami sebagian besar warga dunia pada tahun ini.
Wabah rutin datang dan pergi
Seperti lazim terjadi di mana pun, bagian kota yang lebih miskin akan lebih parah terimbas wabah. Hal ini karena banyak dari mereka harus tinggal dan berbagi ruang dengan anggota keluarga yang sakit, tidak terjangkaunya ongkos dokter, buruknya kebersihan, dan banyaknya tikus yang dapat mempercepat penularan penyakit.
Musim panas tahun 1665 di London memang tercatat lebih hangat dari biasanya. Keadaan ini diperkirakan telah membuat tikus-tikus lebih berkembang biak lebih cepat dan menjadi sumber petaka.
Namun wabah sampar bukan hal yang asing di London. Ibarat kenalan lama, wabah ini berkali-kali menyapa kota dan mengambil serta apa yang ia suka. Wabah ‘maut hitam’ tahun 1348 diperkirakan merenggut nyawa sekitar separuh warga London.
Tahun 1592 hingga 1593, wabah sampar kembali menyapa London, dan menewaskan sedikitnya 15.000 penduduk kota dan ribuan lainnya di daerah sekitar London. Wabah juga mampir di kota itu tahun 1603, 1625, dan tahun 1636.
Manusia "cenderung lebih kejam"
Dalam buku hariannya, Pepys juga rutin memperbarui pengetahuannya tentang jumlah korban yang meninggal dunia akibat wabah pes. Beberapa kali ia menuliskan bahwa wabah ini telah membuat manusia jadi lebih kejam terhadap satu sama lain, bahkan lebih kejam daripada hewan.
Dikutip dari laman the conversation, angka kematian yang terus merangkat naik telah membebani pikiran Pepys. Namun di lain waktu, Pepys juga menuliskan upayanya untuk tetap berpikiran positif dan bukan saatnya untuk mem-PHK para pekerja di rumah tangganya.
"Jadi saya kembali lagi dan beranjak ke tempat tidur dan memiliki begitu banyak alasan untuk bersuka cita dan berharap mendapatkan keuntungan yang baik, alih-alih memikirkan masalah-masalah dalam pikiran dan perasaan melankolis yang dapat berpengaruh terhadap keluarga, pada masa wabah seperti ini, dan jika perbedaannya tidak terlalu besar, ini bukan waktu untuk menyingkirkan para pelayan...," tulis Pepys.
Percayai obat-obatan yang belum terbukti
Saat panik dan menghadapi suasana penuh ketidakpastian, publik cenderung cepat percaya dengan informasi-informasi yang sampai ke telinga mereka. Ini termasuk juga dengan obat-obatan yang diklaim manjur menangkal wabah. Namun keadaan ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang.
Tahun 1665, informasi tentang berbagai cara menangkal penyakit juga banyak beredar di masyarakat. Sayangnya, informasi ini sering bersumber dari desas-desus, dan konon kabarnya. Saat itu dipercaya bahwa mengunyah tembakau dapat mencegah orang tertular sampar. Maka ramai-ramai orang membeli tembakau dan mengonsumsinya, termasuk anak-anak di bawah umur. Samuel Pepys juga sempat ikut-ikutan mengunyah tembakau.
Dalam catatan hariannya pada tanggal 7 Juni 1665, Pepys menulis bahwa ia melewati dua atau tiga rumah yang diberi tanda silang merah. Pemandangan ini membuatnya khawatir.
“Hal itu membuat saya memiliki konsepsi buruk atas diri saya dan penciuman saya, sehingga saya terpaksa membeli tembakau gulung untuk dicium dan dikunyah, yang menghilangkan kekhawatiran itu,” tulis Pepys. Selain tembakau, ia juga pernah diberi ramuan herbal oleh seorang kenalan yang konon dapat membuat seseorang terhindar dari wabah.
Padahal, tidak ada yang benar-benar tahu secara pasti dan ilmiah, obat apa yang dipakai untuk menangkalnya. “… dan obat untuk menangkalnya: beberapa orang bilang ini, yang lainnya bilang hal lain lagi,” demikian tulis Pepys. Kini, banyak orang yang juga bisa merasakan kondisi yang ditulis Samuel Pepys, beratus tahun lampau.
ae/vlz (berbagai sumber)