Kisah Mengerikan Wabah Sampar 1665 di London
- dw
Pepys mulai menuliskan perasaan cemas dan khawatir akan adanya krisis akibat wabah sampar pada April 1665. Saat itu, dalam perjalanannya menuju kantor, Pepys kerap melihat pintu-pintu rumah ditandai cat merah, yang mengindikasikan ada penghuni yang terjangkit sampar. Rumah-rumah itu pun ditutup untuk karantina guna memperlambat sebaran penyakit. Namun makin lama, jumlah korban jiwa semakin bertambah. Dalam buku hariannya, Pepys lantas memohon kasih sayang dan ampunan Tuhan.
Ketika para kenalan dan kerabat mulai mengungsi ke daerah pedesaan, Pepys tetap bertahan di London. Namun hari demi hari ia melihat mayat-mayat ditumpuk begitu saja sebelum dibawa ke tempat pemakaman. Sejumlah kenalan, bahkan dokternya sendiri menjadi korban wabah.
Merasa dikelilingi oleh kematian, pada 16 Agustus 1665 Pepys menuliskan surat wasiat, salah satunya untuk dikirimkan kepada istrinya apabila ia meninggal dunia. Selesai menulis surat wasiat, ia pergi ke kantor bursa yang sudah lama tidak ia kunjungi. Betapa kaget ia saat melihat jalan-jalan sepi karena karantina dan banyaknya rumah yang diberi tanda silang merah.
“Tapi, Tuhan! Betapa menyedihkan pemandangan itu, melihat jalan-jalan kosong tanpa ada orang-orang,” tulis Pepys, menggambarkan sejumlah toko-toko yang juga ikut ditutup. Suasana yang ia gambarkan ini terasa mirip masa lockdown yang dialami sebagian besar warga dunia pada tahun ini.
Wabah rutin datang dan pergi
Seperti lazim terjadi di mana pun, bagian kota yang lebih miskin akan lebih parah terimbas wabah. Hal ini karena banyak dari mereka harus tinggal dan berbagi ruang dengan anggota keluarga yang sakit, tidak terjangkaunya ongkos dokter, buruknya kebersihan, dan banyaknya tikus yang dapat mempercepat penularan penyakit.
Musim panas tahun 1665 di London memang tercatat lebih hangat dari biasanya. Keadaan ini diperkirakan telah membuat tikus-tikus lebih berkembang biak lebih cepat dan menjadi sumber petaka.