Pandemi Corona Jadi Tantangan Legitimasi Keilahian Pemimpin Iran
- dw
Menurutnya, 68 persen orang Iran yang diwawancarai berpendapat bahwa peraturan agama harus dipisahkan dari undang-undang negara bagian. Ini juga harus berlaku jika mereka mendapat suara mayoritas di parlemen. Hanya 14 persen yang mendukung bahwa hukum nasional harus konsisten dengan peraturan agama. Lebih dari separuh responden mendukung anak-anak mereka mengenal agama yang berbeda di sekolah. 72 persen dari mereka yang disurvei menentang kewajiban jilbab wajib bagi perempuan di ruang publik.
Pandemi corona dapat memperkuat sikap politik antiteokratis di antara warga negara, ujar sarjana agama Iran di Belanda, Pooyan Tamimi Arab dari Universitas Utrecht.
Semakin jelas bahwa pendekatan ilmiah yang rasional diperlukan untuk memberantas pandemi. Hal ini berkorelasi dengan semakin berkurangnya interpretasi religius yang lebih persuasif atas pandemi dan dengan demikian secara tidak langsung legitimasi agama dari kepemimpinan negara juga ikut meredup.
Behrouz Khosrozadeh editor buku "Iran, Destabilisator: 41 Tahun Republik Islam, Berapa Lama Lagi?" yang diterbitkan pada musim semi tahun ini, juga berpandangan serupa. Suara pendukung pemerintah yang bermotivasi religius dimenangkan dengan diperbolehkannya memperingati Asyura, meskipun tergantung pada persyaratan kesehatan.
Pembiaran ini melawan keberatan dari para kaum yang skeptis. Tetapi kemenangan mereka dapat menyebabkan kekecewaan dalam jangka panjang, demikian diyakini Khosrozadeh. Kepercayaan warga Iran terhadap kompetensi pemerintah juga menurun, sebagaimana pula pada legitimasi keilahian kepemimpinan Iran.