Logo DW

Perang Dingin Masih Hidup di Asia, Ini Buktinya

picture-alliance/AP/Kyodo/Yoshitaka Sugawara
picture-alliance/AP/Kyodo/Yoshitaka Sugawara
Sumber :
  • dw

Sejarah sebagai instrumen politik

Berbeda dengan Eropa, Asia Timur hingga kini belum siap untuk sebuah rekonsiliasi, yang tercermin pada perseteruan teritorial di kawasan. Perebutan pulau tak berpenghuni di lepas pantai Korea Selatan dan di Laut Cina Timur demi sumber daya alam dan keunggulan militer merupakan contoh teranyar.

Buat negara-negara bekas jajahannya, keengganan Jepang membayar ongkos teritorial usai Perang Dunia II masih menjadi duri di dalam daging, “Dari sudut pandang Beijing, Seoul dan Pyongyang, pemisahan Korea dan keberadaan Taiwan adalah warisan imperialisme Jepang,” kata pengamat politik Kanada, Stephan Nagy, di Universitas Kristen Internasional di Tokyo.

Buntutnya sentimen nasionalisme menguat. Korsel mencoba mengusir hantu penjajahan, 1910-1945, dengan mengalakkan “dekolonialisasi anti Jepang.” Hubungan Cina dengan Jepang juga didominasi rasa nasionalistik.

Ketika kedua negara kembali menjalin hubungan diplomatik pada 1972, Mao Zedong mengatakan, tanpa invasi Jepang, kaum komunis tidak akan mungkin merebut kekuasaan. Permusuhan kedua negara sempat mereda, namun kembali menguat di era Jiang Zemin.

“Narasi tentang penindasan dan pengorbanan sangat penting bagi pembentukan identitas, dan ini semakin dibetoni lewat pendidikan dan budaya pop,” ujar Daniel Sneider, pakar Asia Timur di Stranford University, AS.

Artinya, Cina, Korea Selatan dan Korea Utara menyudutkan Jepang sebagai instrumen politik untuk merebut hati rakyat. “Para pemimpin di Beijing dan Seoul tidak cuma merawat ingatan sejarah untuk mengenang para korban, tetapi juga buat memetik keuntungan politik,” imbuh Ralph Cossa, bekas direktur lembaga pemikir AS, Pacific Forum, di Hawaii.