Digagas Gadis Indonesia di Berlin, 'Where Are You From' Lawan Rasisme
- dw
“Saat makan dengan seorang kawanku orang Jerman di sebuah restoran di Kota Bonn di mana saya tinggal, seorang pria yang lewat menggodaku, Konnichiwa (ed: Selamat siang, dalam bahasa Jepang) sambil mengedipkan mata ke arahku. Temanku yang orang Jerman melotot dan bertanya mengapa saya diam saja digoda begitu, aku hanya tertunduk,“ ujar Susi, seorang ibu rumah tangga asal Indonesia yang bermukim di Kota Bonn, Jerman.
Bukan pertama kalinya ia mengalami hal ini. Beberapa kali pernah ia ditimpuk gumpalan kertas oleh anak-anak sekolah sambil diteriaki “Moshi-moshi“ (ed: Halo dalam bahasa Jepang) tiap kali menuju halte bus yang tak jauh dari rumahnya. “Kesal banget sih, lagi pula saya bukan orang Jepang meskipun mata saya sipit,” demikian Susi mencurahkan isi hatinya. Sudah lebih dari 10 tahun ia tinggal di Jerman dan bolak-balik mengalami hal serupa di jalanan dan ia memilih menundukkan kepala.
Di Berlin, seorang mahasiswi asal Indonesia juga mengalaminya. “Kebanyakan saya mengalami pelecehan secara verbal di jalanan. Saya orang Indonesia, tapi orang lain tidak tahu bahwa Indonesia eksis atau Indonesia itu ada di mana. Jadi saat mereka melihat ada kaum minoritas, tidak terlihat mirip, mereka akan meneriakkan “ching chang chong”, atau “Hi, sexy lady from China!”, hal-hal seperti ini terjadi di jalanan;” ungkap mahasiswi komunikasi desain yang kuliah dan bermukim di ibu kota Jerman ini.
Melawan rasisme
Namun Irma Fadhila tidak diam saja. “Saat kita tinggal di suatu kota kita hanya mau merasa aman dan nyaman… ya mungkin kita juga ingin orang lain tahu, bahwa saya ini dari Indonesia, Indonesia itu negara seperti ini, letaknya ada di sana… tapi kita kan tidak bisa mencoba mendidik semua orang yang melecehkan kita, entah di jalanan atau di sebuah acara, bahkan antarteman walaupun mungkin bukan bermaksud begitu.“ Oleh sebab itulah ia menggagas proyek “where are you from?” atau dari mana asalmu?
“Proyek ini basisnya adalah interview. Ternyata banyak orang-orang yang mengalami hal seperti yang saya alami bahkan pengalamannya bukan lebih buruk tapi lebih sedih mendengarnya, karena hal-hal ini banyak terjadi dan bukan cuma pelecehan verbal tapi terkadang itu juga bisa jadi serangan fisik,” tutur Irma menceritakan proyek antirasismenya. Bukan hanya orang Indonesia, orang-orang Asia Tenggara juga menurutnya punya pengalaman-pengalaman tidak jauh berbeda.
Ia pun lalu memanfaatkan keahliannya di bidang fotografi, untuk mengabadikan serangkaian potret orang Asia Tenggara di Berlin yang mengalami rasisme, seksisme, pelecehan dan bentuk serangan lainnya. Selain memotret, Irma Fadhila meminta narasumbernya untuk berbagi cerita dan semua itu dikumpulkannya dalam sebuah buku.