Logo ABC

Apa yang Terjadi Jika Punya Masalah Diplomatik dengan China?

Norwegia adalah salah satu negara yang mengalami pembekuan hubungan diplomatik dengan China.
Norwegia adalah salah satu negara yang mengalami pembekuan hubungan diplomatik dengan China.
Sumber :
  • abc

Hubungan diplomatik antara negara sering mengalami pasang surut, seperti yang terjadi di sejumlah negara barat yang dilaporkan bersitegang dengan China.

Norwegia adalah salah satu negara yang pernah mengalami hubungan memanas dengan China, salah satu negara adi daya dunia.

Ketika Komite Nobel Norwegia menghadiahkan Nobel Perdamaian tahun 2010 kepada seorang pembangkang politik terkenal China, Lu Xiaobo, hubungan Norwegia dengan China langsung membeku.

Padahal Norwegia adalah negara Barat pertama yang mengakui China yang dipimpin Partai Komunis dan keduanya membangun hubungan diplomatik di tahun 1950.

Candles are placed around portraits of jailed Chinese pro-democracy activist Liu Xiaobo during a candlelight vigil. Liu Xiabo mendapat Nobel Perdamaian karena menyuarakan kebebasan berpendapat di China. (Reuters: Bobby Yip, file photo)

Namun ketika hadiah Nobel tersebut diberikan kepada Liu yang meninggal di tahun 2017, China menghentikan pembicaraan dagang dengan Norwegia dan membatasi ekspor sejumlah komoditi.

Kebekuan hubungan berlangsung selama enam tahun, sampai akhirnya hubungan pulih kembali di tahun 2016.

Sepuluh tahun kemudian di tahun 2020, Australia mengalami masalah yang sama dengan China, setelah Australia menyerukan adanya penyelidikan mengenai asal muasal virus COVID-19, yang pertama kali diketahui menyebar di kota Wuhan di China.

Apa dampaknya bagi Norwegia? Big pieces of Norwegian salmon are stacked on top of each other in a fridge at a supermarket. China membatasi impor salmon dari Norwegia, produk utama dari negara Skandinavia tersebut. (Flickr: BakiOguz)

Pertama, pejabat China pernah mengancam jika keputusan pemenang Nobel Perdamaian akan "berdampak buruk bagi hubungan China-Norwegia".

Namun pejabat di Norwegia sebenarnya tidak bisa melakukan apapun mengenai pemenang Nobel.

Anggota Komite Nobel Norwegia memang diangkat oleh pemerintah namun keputusan mereka bersifat independen.

Dua hari setelah mengeluarkan ancaman, China membatalkan perundingan perdagangan bebas dengan Norwegia dan dua bulan kemudian membatasi impor ikan salmon dari Norwegia.

Di tahun keempat pembekuan hubungan diplomatik, Norwegia, negara penghasil salmon terbesar di dunia, langsung mengalami penurunan pangsa pasar hingga 70 persen dari China.

Pejabat China memperkuat aturan karantina dan pembatasan impor salmon dari Norwegia dan membatasai lisensi impor yang dikeluarkan.

"Partai Komunis China penuh perhitungan dalam mencari sasaran komoditi yang dibatasi, tidak pernah mencari sasaran komoditi yang mempengaruhi kepentingannya sendiri," kata Emilia Currey, peneliti dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI).

"Sebagai contoh, barley [jelai] jadi sasaran untuk Australia, kemudian ternak sapi, dan bukannya biji besi atau wool padahal jumlah perdagangannya hampir sama."

Dia mengatakan China cenderung mencari ekspor yang penting dari sebuah negara sebagai identitas negara tersebut.

Sebagai contoh dalam perseteruan dengan Korea Selatan di tahun 2016 berkenaan dengan sistem pertahanan rudal, China melarang bintang pop Korea Selatan muncul di televisi China dan bintang K-pop juga dilarang tampil dan mengadakan tur.

"Ketika Partai Komunis China (CCP) mencari sasaran komoditi, mereka mencari sasaran terhadap komoditas yang berpengaruh langsung pada kehidupan negara bersangkutan," ujar Emilia.

Bagaimana Norwegia bereaksi? Prime Minister Erna Solberg speaking on stage in a microphone. Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg mengatakan menolak menemui Dalai Lama 'perlu dilakukan' untuk membina hubungan kembali dengan China. (NTB via Reuters: Scanpix/Terje Bendiksby)

Dalam reaksinya, Norwegia mengatakan mereka tidak akan meminta maaf atas keputusan yang diambil Komite Nobel, namun membujuk China dengan cara lain.

Di tahun 2014, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg memutuskan untuk tidak bertemu Dalai Lama, yang juga pernah mendapat hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1989.

Keputusan itu menandai untuk pertama kalinya seorang pemimpin Norwegia menolak bertemu dengan tokoh kemerdekaan Tibet tersebut..

Beijing memandang Dalai Lama sebagai tokoh separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Tibet, tapi PM Solberg juga membantah jika ia melakukannya karena mendapat tekanan dari China.

"Kami tahu bahwa bila kami melakukannya, kami akan tetap dalam pembekuan hubungan lebih lama lagi," kata PM Solberg waktu itu.

Akhirnya setelah enam tahun, Norwegia bisa menormalkan hubungan kembali dengan China di tahun 2016 dengan kedua negara menandatangani pernyataan bersama.

Pernyataan itu mengakui bahwa Nobel Perdamaian 2010 menjadi sumber masalah dan pemerintah Norwegia menegaskan "komitmen kebijakan satu China" dan "kedaulatan dan integritas wilayah" China.

Mereka jugasetuju untuk tidak mendukung tindakan yang bisa mempengaruhi "kepentingan utama" China, istilah yang digunakan Beijing untuk menggambarkan berbagai hal, seperti penahanan masal warga Uyghur di Xinjiang dan kebijakan yang semakin menekan di Hong Kong.

Wang Yi bumps elbows with Norway s foreign minister Ine Erisen Soreide in Oslo last month. Dalam kunjungan bulan lalu ke Norwegia, Menlu China Wang Yi memperingatkan lagi usaha untuk 'mempolitisasi" Hadiah Nobel Perdamaian. (AP)

Namun tidak ada pernyataan jika keputusan Nobel adalah keputusan independen dan bukan keputusan pemerintah Norwegia, juga jika China menghormati keputusan sebuah institusi di negara lain.

Artinya China bisa saja melakukan tindakan yang sama lagi di masa depan bila Hadiah Nobel diberikan kepada salah seorang pembangkang pemerintah.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi pernah ditanya mengenai kemungkinan tersebut ketika dia mengunjungi Norwegia bulan lalu.

"China selalu menolak semua usaha dari siapa saja untuk mempolitisir Hadiah Nobel Perdamaian dan campur tangan dalam urusan dalam negeri China," kata Wang kepada wartawan.

Kebijakan "tekanan" dari China

Sebuah laporan baru yang dikeluarkan minggu ini oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) merinci apa yang sebut "diplomasi tekanan" yang dilakukan Beijing terhadap negara lain dan perusahaan asing.

Lembaga pemikir itu mengatakan Partai Komunis China menerapkan berbagai kebijakan menekan terhadap negara lain termasuk melakukan ancaman dan pembatasan di bidang perdagangan, turisme dan kontak diplomatik.

Penahanan tanpa alasan jelas, bahkan eksekusi mati terhadap warga asing di China termasuk bentuk tekanan yang disebut dalam laporan.

Pemerintah Australia sudah mengeluarkan peringatan perjalanan ke China bulan Juli dengan peringatan jika warga Australia bisa saja ditahan tanpa alasan jelas.

ASPI mengatakan China menggunakan kebijakan "tekanan" sebanyak 152 kali sejak tahun 2010, terhadap 27 negara, termasuk Uni Eropa.

Laporan tersebut mengatakan adanya peningkatan penggunaan kebijakan tersebut sejak tahun 2018.

"Pola yang dilakukan hampir sama," kata Emilia Currey, penulis laporan sekaligus peneliti di ASPI.

"Awalnya dimulai dengan ancaman yang dikeluarkan negara dan bila tindakan itu tidak dihentikan oleh negara sasaran, maka pembatasan perdagangan akan dilakukan, atau pembatasan kedatangan turis atau investasi, dan berlangsung sampai negara itu mengubah kebijakannya."

Apa yang harus dilakukan? A close up of Prime Minister Scott Morrison, he is wearing a suit and pinned Australian flag broach. Perdana Menteri Scott Morrison mengatakan Australia tidak akan mengorbankan nilai demi kepentingan perdagangan dalam hubungan antar negara. (ABC News: Ian Cutmore)

Dalam pandangan ASPI, Australia tidaklah harus melakukan sesuatu untuk bisa memperbaiki hubungan dengan China dengan mengorbankan nilai yang sudah ada.

Lembaga itu menyarankan semua negara yang menghadapi tekanan dari China bersama-sama bersatu dalam berbagai forum internasional dan kompak menghadapi China.

Tindakan yang bisa dilakukan antara lain mengeluarkan pertanyaan bersama, sanksi ekonomi atau pembatasan perjalanan.

Lembaga pemikir itu menyarankan agar Aliansi Intelejen Five Eyes yang terdiri dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat bisa membentuk pakta keamanan ekonomi bersama.

Artinya, jika China melakukan tekanan terhadap salah satu negara mitra, maka bisa melakukan aksi ekonomi atau diplomatik terhadap China.

Laporan itu juga memperingatkan kepada bisnis untuk mulai memikirkan risiko melakukan bisnis di China, melihat Beijing semakin sering menggunakan tekanan belakangan ini.

"Memperbaiki hubungan tidaklah memberi jaminan ini tidak akan terjadi lagi di masa depan," kata Emilia.

Ketika ditanya mengenai sanksi yang diterapkan China bulan Juni, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison mengatakan pemerintah tidak ingin cepat memperbaiki hubungan dengan mengorbankan prinsip yang ada.

"Kami adalah negara yang menganut perdagangan terbuka. Saya tidak mau mengorbankan nilai ini menghadapi tekanan yang datang dari siapa saja," katanya.

Namun akademisi University of Melbourne, Sow Keat Tok memperingatkan agar Australia berhati-hati, setelah melihat kasus terbaru penahanan wartawan Australia, Cheng Lei di Beijing.

"Ini tindakan balas membalas, dan kita tidaklah mau ini meningkat lebih buruk dari sekarang, jadi akan bermanfaat bila Canberra menurunkan tensi dalam pernyataan mereka," katanya kepada ABC.

Dr Tok mengatakan tidak berarti Australia harus takut menghadapi China, namun berhati-hati dalam keterlibatan dengan diplomasi lewat pernyataan saling menyerang di media.

"Kita memang harus berhati-hati dalam berhubungan dengan China. Saya kira kita tidak harus mengorbankan nilai kita dengan melakukan diplomasi diam-diam."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya.

Disadur dari laporannya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini