Iran Siap Berunding jika AS Patuhi Perjanjian Nuklir 2015
- dw
Tawaran itu disampaikan Presiden Hassan Rouhani, Selasa (26/8). Dia mendesak agar Washington kembali mengadopsi kesepatan nuklir antara enam negara pada 2015 yang digugurkan secara sepihak oleh Presiden Donald Trump.
“Tekanan maksimal Washington terhadap Iran gagal 100%,” kata Rouhani dalam sebuah konferensi pers di televisi. “Jika Washington menginginkan kesepakatan dengan kami, maka mereka harus meminta maaf telah keluar dari perjanjian dan kembali mengadopsinya,” imbuhnya.
Ketegangan jangka panjang antara kedua negara sempat memuncak pada 2018, saat Presiden Trump mengumumkan mencabut dukungan atas perjanjian yang antara lain diperjuangkan oleh bekas Presiden Barack Obama tersebut.
Sebaliknya Trump mengembalikan sejumlah sanksi yang melumpuhkan ekonomi Iran dan melobi negara lain agar menangguhkan pencabutan sanksi terakhir sesuai perjanjian, yakni embargo senjata, meski sudah mencabut dukungan dua tahun sebelumnya.
Analis meyakini kebijakan Washington dibuat untuk memaksa Iran kembali ke meja perundingan.
Perjanjian baru batasi pengaruh militer Iran di Timteng
Sebagai reaksi terhadap “tekanan maksimal” seperti yang diformulasikan Washington, Iran sengaja melanggar perjanjian 2015 dengan menghidupkan kembali pengolahan uranium miliknya.
Perjanjian Nuklir 2015 dianggap keberhasilan karena memaksa Iran menyerahkan hak pengolahan uranium kepada Rusia dan berkomitmen membuka data aktivitas nuklirnya agar mencegah produksi senjata.
Sebagai gantinya Iran mendapat kelonggaran sanksi, mulai dari ekonomi hingga yang terakhir embargo senjata. Larangan penjualan alutsista itu sedianya berakhir di penghujung bulan Oktober mendatang.
Destabilisasi pasca berakhirnya embargo senjata?
Selama kampanye pilpres, Trump menuntut kesepakatan baru, di mana AS ingin mengaitkan aktivitas nuklir Teheran dengan operasi militer Garda Revolusi di Timur Tengah. Dengan cara itu AS tidak hanya membidik program nuklir, tetapi juga pengembangan rudal balistik antarbenua dan penarikan mundur milisi bentukan Iran dari Irak, Suriah, Libanon dan Yaman.
Dia berjanji akan mampu menghasilkan kesepakatan tersebut hanya beberapa pekan setelah pemilu kepresidenan, November mendatang, dengan catatan jika menang.
“Trump bicara terlalu banyak. Presiden selanjutnya, entah Trump atau orang lain, harus mengadopsi pendekatan yang berbeda terhadap Iran,” kata Rouhani.
Sejauh ini, negara anggota Dewan Keamanan lain, Rusia, Cina, Prancis, Inggris dan Jerman tetap berkomitmen mempertahankan perjanjian dengan Iran. Kelima negara mengritik langkah Washington karena dinilai justru memperlemah upaya mencegah Iran memiliki senjata nuklir.
Namun demikian, Kementerian Luar Negeri Prancis turut menggemakan kekhawatiran Jerman dan Inggris terkait pencabutan embargo militer dan dampaknya terhadap stabilitas keamanan di kawasan.
“Kementerian menegaskan kekhawatiran kami terkait aktivitas Iran yang memicu destabilisasi dan konsekuensi berakhirnya embargo senjata konvensional,” tutur Wakil Jurubicara Kemenlu, Francois Delmas.
Sementara itu Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mendesak Inggris bergabung dengan AS mengembalikan sanksi PBB terhadap Iran. Permintaan itu disampaikan saat Menteri Luar Negeri Dominic Raab melawat ke Yerusalem.
“Lihat saja agresi Iran saat ini, tanpa satu pun senjata nuklir,” kata dia. “Betapa besar bahayanya bagi seluruh dunia jika Iran memiliki senjata nuklir,” imbuhnya di depan Raab, menurut keterangan pers yang dikeluarkan kantor perdana menteri.
Iran selama ini bersikukuh program nuklirnya untuk tujuan damai.
rzn/ (rtr,ap)