Negara Islam dengan Nuklir, Akankah Pakistan Jadi Adidaya?

Source : Republika
Source : Republika
Sumber :
  • republika

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD – Jahangir Mohammed, dari Center for Muslim Affairs, dalam artikelnya yang dimuat 5 Pillars, melihat kembali sejarah kelangsungan Pakistan dalam melawan rintangan, saat negara tersebut berusia 73 tahun. Rintangan tersebut, di antaranya perang, dan status tenaga nuklir.

Mohammed berpendapat, jalan menuju tanah air Islam yang mulia dari para pendiri negara akan panjang dan sulit, tapi itu masih mungkin. Pada 14 Agustus 1947, migrasi massal terbesar yang pernah terjadi di dunia mengarah pada pembentukan negara Muslim baru Pakistan pada akhir 100 tahun pendudukan Inggris berlangsung di India.

India menjadi dua negara dengan Muslim terpecah di antara mereka, bersama dengan dua visi dan cita-cita politik Muslim yang bersaing. 

Di satu sisi ada visi Dr Allama Mohammed Iqbal dan gagasannya tentang negara atau tanah air Islam yang terpisah seperti negara Islam saat di Madinah untuk melindungi Muslim. Di sisi lain, ada model nasionalisme gabungan dari koeksistensi ulama Hussain Ahmad Madani.

Mungkin pencapaian besar Pakistan dalam periode ini adalah kelangsungan hidupnya. Ini dimulai dengan banyak kerugian di mana negara ini berisi populasi besar dari kelompok etnis yang berbeda, yang selama satu abad nasionalisme, pada akhirnya akan mengidentifikasi dan memobilisasi serta memperkuat politik di sepanjang garis kelompok etnis.

Negara ini juga terpecah secara geografis menjadi Timur dan Barat dengan India yang bermusuhan. Hal ini membuat pemerintahan hampir tidak praktis dan pemisahan tak terelakkan. Satu-satunya faktor pemersatu pada awalnya adalah Islam.

Tetapi di sini lagi-lagi orang-orang terpecah belah di sepanjang divisi sektarian. Mulai dari Barelwi/sufi, Deobandi, Syiah, dan kemudian gerakan Wahabi/salafi.

Jadi, konflik yang berlangsung selama 73 tahun sudah tertanam sejak lahirnya negara baru. Dan Muslim Kashmir, yang pada saat itu ingin menjadi bagian dari Pakistan, dilarang militer untuk mengungkapkan keinginan mereka, dan meminta dukungan dari Pakistan.