Meski Disudutkan, Mengapa Muslim India Tak Tertarik Gabung ke ISIS?
- republika
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI- Telah lebih dari lima tahun ISIS mengumumkan cabang Al-Qaeda terbarunya di Asia Selatan, al-Qaeda in the Indian Subcontinent (AQIS). Meski begitu AQIS tidak berkembang secara besar, karena upaya perekrutan yang kerap berujung pada kegagalan.
Mohammed Sinan Siyech dalam penelitiannya menuliskan peristiwa pada 2019 lalu, di mana badan keamanan India menggagalkan upaya sepuluh orang yang merencanakan pengeboman dan mengaku terinspirasi dari ISIS. Selain itu, tercatat pula beberapa serangan yang diklaim didalangi jaringan jihadis.
Hal ini pula yang menjadikan Muslim di India yang sejatinya merupakan minoritas semakin terpojokkan. Mulai dari diskriminasi, bias, Islamofobia, dan faktor terkait lainnya telah ada selama beberapa dekade di India. Banyak dari masalah ini dengan sengaja diperburuk oleh pemerintah yang berhaluan kanan saat ini.
"Banyaknya laporan tentang hukuman mati tanpa ada alasan jelas, penargetan kaum minoritas, dan menyusutnya ruang untuk ekspresi bagi kaum minoritas, seharusnya menjadi faktor pendorong utama bagi orang untuk bergabung dengan kelompok teroris untuk memperbaiki ketidakadilan tersebut," tulis Siyech yang dikutip di Eurasia Review, Senin (24/8).
Kenyataannya, meski ISIS dan AQIS telah mencoba untuk merekrut anggota dari India, tetapi secara konsisten mengalami kegagalan dan respon yang tidak memuaskan. "Memang, keengganan ini begitu tinggi sehingga beberapa video propaganda berorientasi ISIS dan AQIS di India menyesalkan kurangnya partisipasi Muslim India," sambungnya.
Banyak peneliti yang mencoba membongkar alasan minimnya minat Muslim India untuk bergabung dengan ISIS. Analis kemungkinan akan menganggap keyakinan agama dan politik semua Muslim India sebagai satu kesatuan, tetapi mereka bukan entitas agama atau politik yang monolitik, kata Siyech.
Dia menjelaskan, Muslim India dibagi oleh teologi (misalnya, Barelwis atau Deobandis), garis ekonomi dan kasta (Ashraf, Thangals, Syed, Ajlafs, dan Arzals), sekolah yurisprudensi (Syafi"i, Hanafi, Ahle Hadits / Salafi), gerakan reformasi (misalnya, Tablighi, Jamaat e-Islami atau Deobandi), dan oleh bahasa dan geografi (misalnya, Bengali, Urdu, Tamil, Gujarati, Malayalam).
"Semua kelompok ini dan anggotanya terus-menerus saling beririsan dan saling memengaruhi, menciptakan masyarakat yang sangat heterogen," jelasnya.
"Keragaman adalah salah satu alasan mengapa Muslim India tidak berpartisipasi dalam konflik, karena setiap kelompok memiliki konteks, aspirasi, dan tantangan lokal," tambah Siyech.
Menurutnya, kelompok teroris transnasional hanya dapat mengajukan banding ke subbagian yang lebih kecil, tergantung pada bahasa propaganda yang digunakan. Alasan kuat lainnya adalah arah politik yang telah diekspresikan komunitas Muslim India yang beragam selama berabad-abad.
Sejarawan Muzaffar Alam mencatat bahwa untuk mencegah pemberontakan, para penguasa Muslim India di masa pra-Mughal (sebagian besar) mendorong pembenaran teologis untuk persatuan Hindu-Muslim, sebuah tradisi yang berlanjut hingga kemerdekaan.
Ketika India menjadi sebuah negara, berbagai gerakan Muslim, seperti Deoband, Ahle Hadith (salafi) dan Jamaat e-Islami, terpecah menjadi dua faksi utama, satu yang memilih untuk tetap di India dan lainnya yang mendukung kasus negara yang terpisah secara agama, Pakistan.
Faksi-faksi India dari gerakan-gerakan ini menggunakan argumen teologis untuk mendukung alasan mereka tetap tinggal di India, dengan demikian memperkuat gagasan bahwa India adalah rumah bagi umat Islam.