Logo BBC

Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Sosok Besar Diselubung Sejarah

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Tujuh tahun kemudian, sejumlah aktivis di mana Yunantyo terlibat di dalamnya, pernah mencoba menggelar peringatan kemanusiaan untuk mengenang Amir Sjarifuddin dan "orang-orang yang terstigma" sejarah.

"Doa bersama lintas agama, tujuannya untuk menghapus stigma, yang melibatkan warga setempat," ungkap Yunantyo.

"Artinya peristiwa masa lalu itu sudahlah, jangan dibumbui hoaks, dengan stigma, dengan luka-luka yang terus diperuncing," tambahnya.

Pada tahun yang sama, Yunantyo bersama Perkumpulan masyarakat Semarang HAM (PMS-HAM) pernah memasang nisan di lokasi kuburan massal orang-orang dituduh simpatisan atau anggota PKI di Dusun Plumbon, Semarang, Jateng, dan berhasil.

Tetapi keinginan Yunantyo dkk untuk menggelar acara kemanusiaan serupa di makam Amir, ternyata, gagal. "Ada sekelompok massa yang menolaknya."

Di matanya, sosok Amir Sjarifuddin, bersama tokoh bangsa lainnya, memiliki peran dan jasa dalam perjalanan Indonesia, apapun ideologi maupun garis politiknya.

"Dan kenapa kita tidak bisa memaafkan dia [Amir Sjarifuddin] kalau dia dianggap salah. Toh dia belum tentu orang yang harus dimintai `tanggung jawab` peristiwa Madiun 1948," katanya.

Amir Sjarifuddin pernah menjadi bagian dalam Kongres Pemuda II 1928 yang belakangan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. "Di situ Amir punya andil," kata Yunantyo.

Menjadi bendahara acara itu, Amir menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.

Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.

Belakangan, dia mengakui menerima uang dari pemerintah Belanda pada 1941 untuk "membiayai jaringan di bawah tanah" melawan invasi fasisme dan militerisme Jepang, tulis Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Pelawanan di Jawa 1944-1946 (1988).

Saat Jepang masuk, awal 1943,Amir ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati, karena dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah - hukuman itu tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta.

Setelah dipercaya menjadi menteri dalam kabinet awal, Amir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1947 dan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville - disepakati 17 Januari 1948 - yang hasilnya dianggap merugikan kedudukan Indonesia.

Lantas, Amir meletakkan jabatan, setelah sejumlah pimpinan partai menolak hasil perjanjian itu. Maka berakhirlah pemerintahan Sayap Kiri.

Sebulan kemudian lahirlah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta. Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.

Pada awal Agustus 1948, sosok yang disebut George Mc Turnan Kahin, dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995), sebagai "anggota Politbiro PKI pada permulaan tahun 1926 dan pendiri PKI ilegal pada 1935", Musso, datang ke Indonesia.

Dan, dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935. "Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis Kahin.

Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun. Dalam pusaran itulah, Amir berada di pihak yang kalah - dan berakhir dengan kematiannya yang tragis.

"Saya tidak setuju, dia [Amir Sjarifuddin] dianggap pihak paling bertanggungjawab dalam `peristiwa Madiun`," kata Yunantyo.

Cara pandang berbeda atas sosok Amir, seperti pernyataan Yunantyo di atas, rasanya tidak mungkin disuarakan secara terbuka pada rentang waktu rezim Orde Baru berkuasa.

Di masa Orde Baru, seperti ditulis sejarawan asal Prancis, Jacques Leclerc dalam buku Amir Sjarifuddin, antara Negara dan Revolusi (1996), sosoknya memang diharamkan untuk `ditampilkan` di depan umum.

Jacques Leclerc mencontohkan majalah Prisma dalam November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis sangat hati-hati, terancam dibreidel oleh Kementerian Penerangan.

Lalu, disertasi pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan pendeta Belanda, Th van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumukan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah.

Namun setelah ambruknya rezim Suharto, sejumlah pihak mempertanyakan sejarah resmi yang dianggap meminggirkan Amir dari pentas sejarah nasional. Pada Desember 2008, misalnya, digelar diskusi untuk menggugat narasi sejarah tunggal sosok Amir.

Di acara itu, para peserta diskusi juga menyayangkan eksekusi mati atas pria kelahiran 1907 itu. "Ini tak perlu terjadi, apabila para pemimpin seperti Sukarno melihat peristiwa Madiun secara jernih," kata Wilson, ketua panitia acara diskusi.

Anak bungsu mendiang Amir Sjarifuddin, Helen Lucia, hadir pula dalam acara itu. Namun ketika itu dia menolak diwawancarai BBC Indonesia.

Belakangan, persisnya pada November 2015, ada wacana dari sejumlah pihak agar ada upaya supaya Amir Sjarifuddin mendapatkan status pahlawan nasional dari pemerintah.

Pemberitaan itu menyebutkan akan dibentuk kepanitiaan untuk menggolkannya, yang antara lain, dipimpin oleh Sabam Sirait, Bert Supit dan Jopie Lasut. Intinya, mereka diberi mandat mempersiapkan dokumen-dokumen seputar peranan Amir.