Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Sosok Besar Diselubung Sejarah
- bbc
"Ini bentuk nasionalisme dia," tambahnya, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu.
Baik Anshari atau Turiman kemudian menganggap tidak ada yang salah dengan pilihan Sultan Hamid atau pemimpin lainnya yang menyokong konsep federal.
Mereka juga mempertanyakan narasi sejarah resmi yang selama ini menganggap Majelis Permusyawaratan Federal alias atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) - didirikan Juli 1948 - sebagai "boneka ciptaan Belanda".
Buku Sejarah yang Hilang (2015), karya Mahendra Petrus, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, gagasan awal BFO berasal dari inisiatif Anak Agung Gde Agung yang ingin menghilangkan kesan keberadaan negara-negara bagian semata merupakan ide Belanda.
Selain itu, menurut Hamid, pembentukan wadah bernama BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik RI-Belanda yang tidak segera terlihat ada titik temu, tulis Mahendra Petrus.
"Akan tetapi ini [BFO] - yang dipimpin Sultan Hamid II - untuk menjembatani kepentingan antara Indonesia, yaitu kaum Republiken, kemudian kaum federasi, dengan Belanda, agar ditemukan solusi bersama untuk mendapatkan kedaulatan penuh," kata Anshari.
Mohammad Iskandar, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020, mengatakan sumber-sumber primer terkait BFO sangat sedikit.
"Sehingga perannya kurang mendapatkan tempat dalam sejarah nasional Indonesia, terutama dalam buku pelajaran sangat sedikit," katanya.
Dalam sejarah Indonesia, bahkan sampai sekarang, informasi tentang BFO sangat sedikit, katanya.
"Dan celakanya lagi, sumber-sumber primer untuk ini, relatif sangat terbatas di arsip nasional. Kebanyakan ada di Belanda," ujarnya.
Akibatnya, menurut Iskandar, di buku-buku pelajaran disebutkan bahwa BFO adalah "kaki tangan" Belanda. "[Padahal] mereka ingin juga mendirikan Indonesia."
Menurut peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, "betapa penting sekali" peranan BFO sebagai kekuatan ketiga di samping RI dan Belanda.
Dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (Juli 1949) dan Jakarta (Agustus 1949), ungkap Rusdi, perwakilan RI dan BFO menjadi "bersatu" sebelum menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Adnan Buyung Nasution, advokat senior, dalam kata pengantar buku Sejarah yang Hilang, mengatakan Leirizza dan Mahendra Petrus, banyak memberikan informasi baru tentang peran BFO sebagai kekuatan ketiga.
"Ternyata pendapat banyak ahli tentang BFO selama ini salah dan saya bisa membuktikan keselahan itu demi kebenaran sejarah," tulis Leirissa, yang dikutip Adnan Buyung.
Lewat BFO itulah, Anak Agung Gede Agung berhasil mengkonsolidasikan kekuatan nasional dan menjadikannya sebuah wadah diplomasi untuk menunjang perjuangan elite Indonesia untuk mendapat kemerdekaan penuh.
Kembali ke soal upaya menjadikan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional, kini bola sepenuhnya di tangan pemerintah pusat atau presiden.
Dalam tahap ini, Anshari menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "melakukan rekonsiliasi bangsa, melakukan rekonstruksi sejarah bangsa, melakukan resolusi yang ada, Indonesia berdamai dengan sejarah."
"Kemudian mengubur dalam-dalam, semua keburukan, kemudian mengangkat semua kebaikan," katanya. Dia lantas teringat sejumlah tokoh nasional yang dulunya pernah dipenjara karena dituduh memberontak, namun kemudian diangkat sebagai pahlawan karena jasa-jasanya.
Diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu, Meutia Farida Hatta mengatakan, dirinya belum mendengar bahwa ayahnya - Mohammad Hatta - pernah menyebut Sultan Hamid sebagai "pengkhianat".
"Saya belum pernah mendengar [Hatta menyebut Sultan Hamid II sebagai pengkhianat] sampai beliau wafat," ujarnya.
Namun demikian, Meutia meminta sejarah seputar hal itu harus betul-betul diteliti.
"Sejarah memang bisa diinterpretasi macam-macam, tapi saya berharap bahwa sejarawan yang muda-muda harus meneliti, jangan membiarkan kekosongan ini terjadi," katanya.
Namun dia mengingatkan "peristiwa sejarah jangan dibelokkan, jangan ditambah-tambah".
`Pahlawan sangat berkaitan dengan faktor penguasa`
(Mohamad Iskandar, sejarawan dari Universitas Indonesia, disampaikan dalam diskusi daring Menguak jejak Sultan Hamid II, 5 Juli 2020)
Apakah seseorang itu diusulkan mendapat gelar pahlawan atau tidak, harus diperhatikan bahwa pahlawan itu berkaitan ada faktor yang bersifat relatif, yaitu penguasa.