Logo BBC

Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Sosok Besar Diselubung Sejarah

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Alasannya, pria kelahiran Pontianak tahun 1913 itu dianggap terlibat kudeta Westerling, berniat membunuh Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, serta bukanlah perancang tunggal lambang Burung Garuda.

"Padahal semuanya sudah kami anulir melalui penelitian kami dan dokumen-dokumen yang kami miliki," akunya.

Belakangan, tuduhan terkait masa lalu Sultan Hamid itu disuarakan kembali oleh politikus dan mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono.

Dia menyebut eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini sebagai "pengkhianat bangsa dan bukanlah pejuang". Untuk itulah, dia menyebut mantan menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama ini "tidak layak menjadi pahlawan".

Dalam tayangan di Youtube, Hendropriyono juga menyoroti sikap Sultan Hamid yang dianggapnya "tidak senang" perubahan bentuk negara dari federal (Republik Indonesia Serikat) menjadi kesatuan.

"Dia ingin tetap federalis, dia ingin tetap menjadi sultan," katanya.

Seperti tercatat dalam sejarah, perubahan bentuk negara dari federal ke kesatuan, diawali peristiwa Mosi Integral Natsir - Mohammad Natsir adalah ketua umum Partai Masyumi - di parlemen sementara RIS, 3 April 1950, yang diawali tuntutan di sejumlah daerah untuk kembali kepada negara kesatuan.

Puncaknya, Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan.

Bagaimanapun, ucapan Hendropriyono di atas membuat berang keluarga Besar Sultan Hamid II. Mereka kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalbar karena dianggap "melukai" keluarga Sultan Hamid II.

Senada dengan Hendro, sejarawan Anhar Gonggong, yang juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (TP2GP), mempertanyakan apa yang disebutnya sebagai "patriotisme" Sultan Hamid II.

Dia merujuk pada dokumen yang menyebutkan bahwa Sultan Hamid II "menandatangi sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946."

"Kita sedang dikejar-kejar Belanda mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu. Di mana patrotismenya?" ujar dalam diskusi daring, pertengahan Juli lalu.

Anhar juga menekankan bahwa Sultan Hamid pernah dipidana penjara 10 tahun terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.

"Ada persyaratan UU, tidak mungkin dia diterima [sebagai pahlawan nasional], karena pernah dihukum selama 10 tahun," katanya.

Peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, tidak terlalu yakin pemerintah akan menyetujui pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional.

Selama ini, menurutnya, pemerintah atau presiden "menghindari kontroversi" saat memberikan gelar pahlawan.

"Dia tidak mempunyai riwayat hidupnya yang kontroversi, seperti di dalam kasus Sultan Hamid II," kata Asvi kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/08).

Kontroversi itu, misalnya saja, seputar hukuman pidana penjara atas dirinya serta polemik tentang peranannya sebagai perancang tunggal lambang negara Burung Garuda Pancasila.

"Saya sendiri beranggapan, bahwa dia bukan satu-satunya yang berjasa untuk membuat lambang negara itu," ujarnya.

Tentu saja, penilaian seperti ini dipertanyakan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II. Menurutnya, "faktanya yang merancang adalah Sultan Hamid II."

"Entah kemudian ada saran atau masukan antara lain oleh Ki Hadjar Dewantara, Sukarno, dan dilukis ulang oleh Dullah, itu masukan saja."

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, 5 Juni 2015 lalu, peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengatakan: "Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda," katanya.

Sebagai Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang diketuainya.

"Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik," kata Rusdi Hoesin, kala itu.

Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang negara itu menjadi pesakitan.

Perihal tudingan Hendropriyono bahwa Sultan Hamid "anti-negara kesatuan", Anshari mengutip isi pledoi Hamid pada 1953: "Saya bukan menolak negara kesatuan, akan tetapi cara atau proses-proses perubahan di dalam parlemen RIS."

"Bagaimana saya merestui bentuk negara ini [kesatuan] dengan cara-cara inkonstitusionil. Kalau melalui referendum, saya orang pertama yang mendukung negara kesatuan," kata Anshari, mengutip Sultan Hamid.