Pemilu Singapura: Menghitung Kekuatan Partai Oposisi
- bbc
Putra "LKY", Lee Hsien Loong, adalah Perdana Menteri Singapura saat ini.
Walau dipuji karena dianggap menjadi kunci kesuksesan Singapura, PAP juga dituding menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang kebebasan publik, seperti aturan terkait media dan aturan mengenai perkumpulan warga.
- Jejak ayah kandung Lee Kuan Yew di Semarang
- Kisah Singapura dengan program perumahan umum yang dianggap paling sukses di dunia
- Di balik predikat negara terbaik bagi ekspatriat, Singapura tawarkan lima keunikan
Undang-Undang "berita palsu" tahun lalu—yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk memerintahkan pengubahan unggahan online yang dianggap palsu dan berbahaya bagi kepentingan publik—meningkatkan kerisauan mengenai pembatasan kebebasan berekspresi serta penyensoran.
Saat pemilu lalu berlangsung, sejumlah media dan situs yang mengutip komentar dari kandidat oposisi menjadi korban undang-undang tersebut.
Kemudian, meskipun politik Singapura memakai model pemilu legislatif ala Inggris (sebuah partai hanya bisa mengajukan satu kandidat untuk satu wilayah), ada berbagai perbedaan mencolok yang membuat partai oposisi sulit bersaing.
Wilayah-wilayah dengan jumlah pemilih yang banyak di Singapura tidak diwakili satu anggota parlemen, tapi sebuah tim yang terdiri dari lima anggota parlemen—disebut Kelompok Perwakilan Konstituensi (GRC).
Sistem itu diberlakukan pada 1988 lalu sebagai cara untuk memasukkan lebih banyak perwakilan dari etnik Melayu, India, dan etnik lainnya di negara-kota yang penduduknya mayoritas keturunan Tionghoa. Dengan begitu, sebuah parpol bisa memajukan satu atau dua caleg dari etnik minoritas.