Tujuh Fakta di Balik Serangan ke Kilang Minyak Saudi Aramco
- Foto twitter
VIVA – Serangan melalui drone ke kilang minyak utama Arab, Saudi Aramco mengejutkan Saudi pula negara-negara di dunia. Serangan berujung ledakan dan kebakaran itu terjadi di bagian timur Saudi dan dianggap termasuk serangan paling signifikan terhadap Saudi, sekutu Amerika Serikat itu di Timur Tengah.
Cek 7 fakta penting soal serangan ke Saudi Aramco pada akhir pekan kemarin:
Pertama, kelompok Hutsi yang dianggap pemberontak oleh Saudi dari Yaman mengklaim dalang di balik serangan tersebut. Serangan ke Aramco disebut bisa menurunkan produksi minyak mentah Saudi hingga 5,7 juta barel per day (bpd) dari total jumlah produksi mereka sebagaimana dilansir laman Al Jazeera.
Kedua, hal tersebut akan mempengaruhi paling sedikit lima persen dari distribusi minyak dunia. Pemulihan atas defisit akibat gangguan tersebut membutuhkan waktu berminggu-minggu yang secara otomatis akan menaikkan harga minyak dunia.
Ketiga, serangan udara ini terjadi pada saat masih ada ketegangan politik antara Iran dan Amerika Serikat.
Keempat, Amerika Serikat melalui Menlu Mike Pompeo menuding bahwa Iran sebenarnya aktor paling logis yang berada di balik serangan itu. Hal itu disampaikan AS membaca arah jangkauan drone yang dinilai terlalu sulit jika ditembakkan dari Yaman. Kemungkinan lain kata AS, drone dikirim dari Irak. Namun Iran tak lama kemudian sudah membantah hal tersebut.
Kelima, Hutsi mengklaim berhak melakukan serangan sebagai bentuk balas dendam atas Saudi yang dianggap memerangi Yaman. Juru bicara Hutsi, Yahya Saree bahkan mengatakan bahwa serangan itu berhasil dilakukan juga atas kerja sama Hutsi dengan orang dalam Kerajaan Saudi.
Keenam, pada 14 Mei 2019 lalu juga terjadi serangan ke area pipa minyak Aramco yang memanjang dari timur ke barat di bagian pusat Kota al-Duwadimi. Hutsi juga mengklaim dalang di balik serangan itu.
Ketujuh, pada Minggu yakni sehari setelah serangan ke Saudi Aramco, laman Middle East Eye mengutip pejabat senior di Irak memberitakan bahwa operasi tersebut dipandu dari dalam Irak. Namun pemerintah Irak sendiri membantahnya. (ren)