Brasilia, 'Ibu Kota Baru' Brasil yang Dianggap Gagal oleh Fadli Zon
- Governo do Brasil
VIVA – Rencana pembangunan ibu kota baru RI di Kalimantan Timur langsung menuai beragam respons. Tidak hanya dukungan, namun juga kritik. Salah satu kritik disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Dia menilai perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke tempat yang jauh di Pulau Kalimantan berpotensi bakal gagal. Menariknya, Fadli mengambil contoh negara nun jauh di Benua Amerika Selatan, yaitu Brasil, soal perpindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960.
Bagi dia, Brasilia adalah contoh ibu kota yang gagal. "Brasilia jauh, makanya gagal kan. Emang Brasilia berhasil? Saya pernah datang ke Brasilia City. Itu enggak ada apa-apa di situ. Itu ibu kota yang gagal menurut saya," ujarnya di Senayan Jakarta, Rabu 28 Agustus 2019.
Seperti apa Brasilia itu? Apakah memang dianggap ibu kota gagal?
Brasil sudah dua kali pindah ibu kota, yaitu dari Salvador ke Rio de Janeiro pada 1763, atau saat masih dalam koloni Portugis, lalu ke Brasilia pada 1960 setelah merdeka menjadi negara republik. Berbeda dengan Rio de Janeiro yang merupakan wilayah pesisir, Brasilia ini terletak di dataran tinggi di bagian tengah Brasil.
Pembangunan Brasilia sebagai ibu kota baru berawal dari kebijakan mendiang Presiden Brasil, Juscelino Kubitschek, demikian ungkap David Epstein dalam bukunya, "Brasilia: Plan and Reality: a Study of Planned and Spontaneous Urban Development” (1973). Ketika dilantik jadi presiden pada Januari 1956, Kubitschek memenuhi janjinya saat kampanye Pemilu dengan mulai merencanakan proyek ibu kota baru.
Bagi dia, pusat pemerintahan Brasil harus berlokasi di wilayah yang luas dan representatif. Rio de Janeiro dipandang tidak layak lagi jadi ibu kota negara karena makin banyak penduduk dan wilayah kumuh yang sulit untuk ditata.
Sejumlah arsitek dan insinyur ternama dipilih untuk membangun ibu kota baru. Mereka, di antaranya, Oscar Niemeyer, Joaquim Cardozo, dan Roberto Burle Marx. Niemeyer menjadi kepala arsitek bagi sebagian besar gedung, Cardozo berperan sebagai pakar ahli struktural, sedangkan Marx diserahi tanggung jawab mendesain lansekap ibu kota baru.
Ibu Kota Brasilia pada 1964 (Arquivo Público do Distrito Federal)
Tidak begitu lama mereka membangun ibu kota baru. Didukung sekitar 60.000 pekerja, 1 juta kubik meter beton, dan 100.000 metro ton baja, butuh waktu sekitar 41 bulan - yaitu antara 1956 hingga saat diresmikan pada 21 April 1960 dengan nama Brasilia. Jadi lah wilayah seluas 5.802 km2 itu ibu kota baru bagi Brasil dan pengembangannya terus berlanjut.
Berbeda dengan kota-kota besar yang sudah padat penduduk, seperti Rio de Janeiro dan Sao Paulo, Brasilia benar-benar didesain menjadi kota modern. Bangunan perkantoran, gedung-gedung pemerintah maupun publik, maupun perumahan berlokasi di kawasan masing-masing.
Peruntukan bangunannya serba teratur dan tidak berpencar. Tempat hiburan dan perbelanjaan juga ditata secara teratur. Jalanannya pun dibikin rata dan lebar. Dibangun pula bandar udara di sana, juga stasiun kereta api antar-kota, jalur kereta bawah tanah serta danau buatan yang berguna untuk menampung air dan mempertahankan tingkat kelembaban.
Penghargaan UNESCO
Pokoknya, secara fisik, Brasilia sudah dianggap ideal sebagai kota modern. Bahkan, seperti diungkapkan laman resmi UNESCO, Brasilia dapat penghargaan bergengsi sebagai Situs Warisan Dunia oleh Badan PBB Urusan Kebudayaan dan Pendidikan itu. Bahkan UNESCO pun menggelarinya “City of Design” pada Oktober 2017.
Namun, tetap saja, Brasilia bukan kota yang sempurna. Walau berdiri gedung-gedung modern dan serba teratur, wilayah yang berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa itu dianggap pengamatnya sebagai "kota yang cukup membosankan." Artinya, hanya dianggap hutan beton yang tidak memiliki gairah seperti perkotaan pada umumnya.
"Tidak memiliki kompleksitas seperti kota normal pada umumnya. Tak ada bedanya dengan kompleks kampus bagi pemerintah," kata Ricky Burdett, pakar Studi Perkotaan dari London School Economics Inggris seperti dikutip BBC World Service pada 2010.
Dia menilai Brasilia cuma kota untuk kerja. Penduduknya harus ke luar kota untuk cari hiburan. "Orang-orang di sana setiap Kamis malam kabur dari sana ke Sao Paulo atau Rio de Janeiro untuk bersenang-senang," lanjut Burdett.
Brasilia dipandang indah, tapi cukup membosankan bila ingin mencari kesenangan. Pusat keramaian pun hanya terpusat di satu kawasan, yaitu di zona pusat (central).
"Pemandangannya luar biasa bila kita terbang dengan pesawat. Kemilau lampu-lampu hanya terlihat di satu area saja karena di situ lah kawasan perbelanjaan," lanjut dia.
Seindah-indahnya suatu kota memang tidak lepas dari kritik dan pasti ada kelemahan. Namun, setidaknya Brasil sudah berhasil memindahkan ibu kota negara sejak puluhan tahun lalu dan Brasilia adalah buktinya.