Logo DW

Tingkat Kematian Rendah, Orang Asia Lebih Tangguh Hadapi Corona

picture-alliance/dpa/R. R. Marin
picture-alliance/dpa/R. R. Marin
Sumber :
  • dw

Mutasi memicu virus makin ganas?

Para peneliti di institut penyakit infeksi Jepang menemukan fakta, bahwa virus SARS-CoV-2 mengalami mutasi saat menyebar. Infeksi pertama di Jepang yang berasal dari kapal pesiar "Diamond Princess" di pelabuhan Yokohama ditegaskan, masih berasal dari virus corona Wuhan.

Sementara gelombang infeksi kedua yang terjadi setelah bulan April, dipicu oleh virus yang berasal dari pendatang dari Eropa yang masuk ke Jepang. Pemeriksaan medis oleh Universitas Cambridge mengonfirmasi hasil penelitian di Jepang.

Para peneliti dari Los Alamos National Laboratory di AS menyebutkan, ada kemungkinan virus corona mengalami mutasi di Eropa dan di Amerika, menjadi lebih cepat menular dan lebih ganas.

Profesor emeritus Tatsuhiko Kodama, pakar medis dari Universitas Tokyo, memperkirakan, warga di Asia Timur memiliki antibodi yang lebih ampuh melawan SARS-CoV-2. Sebagai argumennnya ia mengutip riset terkait hal itu dari Institut Imunologi La Jolla di University of California

“Banyak virus flu dan virus corona yang memicu gejala seperti influenza di masa lalu berasal dari kawasan Cina Selatan, dan menginfeksi warga di negara tetangganya. Karena itu dalam darah mereka sudah terdapat sel darah putih yang mampu memerangi virus yang sekeluarga seperti SARS-CoV-2“, papar Kodama lebih lanjut.

Tasuku Honjo, pemenang hadiah Nobel kedokteran asal Jepang juga menarik asumsi pada arah tersebut. “Orang Asia secara genetis punya perbedaan besar dengan orang di barat, terkait sistem pertahaan tubuhnya terhadap virus“, papar pakar imunologi Jepang itu.

Efek kekebalan tubuh mereka memang tidak sempurna untuk menangkal SARS-CoV-2. Tapi mencukupi untuk menjawab serangan virus corona yang dalam skala tertentu mirip dengan virus corona sebelumnya.

Walau begitu profesor Kodama memperingatkan, warga Asia tetap belum tentu aman. “Virus yang bermutasi bisa sama mematikannya bagi warga Asia maupun warga Eropa, tegas pakar medis dari Universitas Tokyo itu.