Siapa Edward Colston, Mengapa Patungnya Dirobohkan Demonstran Inggris

Patung Edward Colston di Bristol, Inggris
Sumber :
  • The Guardian

VIVA – Aksi protes besar-besaran menentang kasus rasisme telah melebar ke berbagai penjuru dunia. Gerakan sosial bertajuk Black Lives Matter rupanya tak hanya terjadi di Amerika Serikat namun juga merembet ke benua Eropa, salah satunya ke Inggris.

Dorong Kesejahteraan TNI, Menhan ke DPR: Ini Sudah Dapat Atensi Presiden, Tinggal Dukungan dari Bapak-bapak

Para demonstran di Bristol Inggris mendadak menjadi sorotan sebab para pengunjuk rasa beramai-ramai merobohkan dan membuang patung perunggu Edward Colston setinggi 5,5 meter yang sudah berada di Colston Avenue sejak 1895. Patung itu dirobohkan dan dijatuhkan ke sungai Bristol Harbour pada Minggu 7 Juni 2020 waktu setempat.

Lantas, siapa Edward Colston yang membuat marah para pendemo?

Egi-Syaiful Siap Latih dan Damping Pedagang Lampung Selatan Adaptasi dengan Teknologi

Melansir The Guardian, Edward Colston merupakan pedagang Inggris, anggota parlemen, filantropis, dan pedagang budak. Semasa hidupnya, Colston banyak menciptakan karya-karya filantropis, seperti ruas jalan, sekolah, rumah tahanan, rumah sakit, dan gereja di Bristol.

Namun, dalam prosesnya membangun karya-karya tersebut, Colston menjual puluhan ribu budak kulit hitam. Oleh karena itu tak heran jika kekayaannya sebagian besar diperoleh melalui perdagangan dan eksploitasi budak. Colston karena itu di satu sisi menjadi simbol kemajuan kotanya namun di sisi lain simbol kuat praktik perbudakan yang terjadi pada masa silam.

Menteri Rosan Pastikan Gerak Cepat Realisasikan Komitmen Investasi US$8,5 Miliar dari 10 Perusahaan Inggris

Meski Colston lahir di Bristol pada tahun 1636, ia tidak tidak pernah tinggal di sana saat dewasa. Semua perdagangan budaknya dilakukan di luar Kota London.

Colston tumbuh di dalam keluarga pedagang kaya di Bristol. Dengan hak istimewa tersebut, Colston mampu membuktikan dirinya dapat sukses sebagai pedagang di bidang tekstil dan wol.

Pada 1680, Colston bergabung dengan perusahaan Royal African Company (RAC) yang memonopoli perdagangan budak Afrika Barat. Kebijakan itu secara resmi dipimpin oleh Raja Charles II yang kemudian naik takhta sebagai James II.

Perusahaan tersebut telah mencap budak, termasuk wanita dan anak-anak dengan inisial RAC di dada mereka layaknya sebuah komoditas.

RAC diyakini sudah menjual sekitar 100.000 orang Afrika Barat di Karibia dan Amerika antara tahun 1672 hingga 1689. Melalui perusahaan ini, Colston menghasilkan sebagian besar kekayaannya, dengan menggunakan keuntungan untuk beralih ke peminjaman uang.

Pada tahun 1689, Colston menjual sahamnya di RAC kepada Prince of Orange, Willian setelah Revolusi, yang merebut kekuasaan dari James pada tahun sebelumnya.

Colston kemudian mulai mengembangkan reputasi sebagai filantropis yang menyumbang untuk kegiatan amal seperti sekola dan rumah sakit di Bristol dan London.

Dia pun sempat menjabat sebagai anggota parlemen Tory untuk Bristol sebelum meninggal di Mortlake, Surrey pada 1721. Jenazah Colston dimakamkan di Gereja All Saints, Bristol.

Karya filanstropinya telah mengharumkan kota Bristol. Nama Colston pun ada di seluruh penjuru kota.

Selain dibuatkan patung, nama Colston juga diabadikan sebagai nama sekolah independen. Bahkan, nama Colston juga dijadikan nama ruangan konser, blok perkantoran bertingkat tinggi, dan sejumlah nama ruas jalan.

Ubah Paradigma

Selama bertahun-tahun, para aktivis berargumentasi bahwa hubungan Colston dengan perbudakan dan kontribusinya terhadap kota harus dinilai dan ditinjau kembali. Sebuah petisi yang mengumpulkan ribuan tanda tangan dalam sepekan terakhir mengatakan bahwa Colston tidak punya tempat di Bristol. Paradigma baru yang menentang praktik membeda-bedakan harkat dan martabat manusia membuat sejarah Colston dianggap sebuah hal yang kurang menyenangkan.

"Sementara sejarah tidak boleh dilupakan, orang-orang yang diuntungkan dari perbudakan individu ini tidak pantas mendapatkan kehormatan patung. Ini harus disediakan bagi mereka yang membawa perubahan positif dan yang memperjuangkan perdamaian, kesetaraan, dan persatuan sosial," bunyi petisi tersebut.

"Dengan ini, kami mendorong dewan Kota Bristo untuk menghapus patung Edward Colston. Dia tidak mewakili kota kami yang beragam dan multibudaya."

Museum Bristol telah berusaha menjelaskan alasan mengapa patung Colston tetap menjadi ikon kota. Dalam situs resminya, museum mengatakan bahwa Colston tidak pernah menjual budak Afrika.

Namun situs web Museum Bristol menambahkan kalimat lain dalam penjelasan itu. "Apa yang kita tahu bahwa dia adalah anggota aktif badan pengurus RAC, yang berdagang budak Afrika selama 11 tahun," tulis pernyataan museum tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya