Taiwan Setujui Penggunaan Remdesivir untuk Pengobatan Darurat COVID-19
- Pixabay
VIVA – Pemerintah Taiwan telah menyetujui penggunaan remdesivir buatan perusahaan Gilead untuk mengobati penyakit COVID-19. Pernyataan ini diungkapkan pemerintah Taiwan pada Sabtu, 30 Mei 2020.
Pemerintah Taiwan sendiri telah berlomba dengan negara lain untuk meningkatkan pasokan remdesivir (yang disetujui oleh regulator AS bulan ini untuk penggunaan darurat) di negaranya. Gilead yang berbasis di California mengatakan akan menyumbangkan 1,5 juta dosis remdesivir, yang diyakini cukup untuk mengobati setidaknya 140.000 pasien, untuk memerangi pandemi global COVID-19.
Pusat Komando Epidemi Sentral Taiwan mengatakan Administrasi Makanan dan Obat-obatan Taiwan mempertimbangkan "fakta bahwa kemanjuran dan keamanan remdesivir telah didukung oleh bukti awal" dan penggunaannya disetujui oleh beberapa negara lain. Atas dasar itu, pusat tersebut mengatakan kondisi telah dipenuhi untuk menggunakan obat tersebut pada pasien dengan infeksi COVID-19 "parah".
Baca Juga: Mengungkap Fakta Dwi Sasono, Aktor yang Terjerat Narkoba
Taiwan telah berhasil mencegah penyebaran virus corona, berkat deteksi dini dan pencegahan serta sistem kesehatan masyarakat kelas satu. Di Taiwan, kasus positif tercatat sebanyak 442 kasus sedangkan kasus kematian tercatat hanya 7 kasus. Sebagian besar orang telah pulih, dengan hanya 14 kasus aktif.
Saat ini tidak ada obat atau vaksin yang disetujui untuk pengobatan COVID-19, tetapi negara-negara di Eropa sudah memberikan remdesivir kepada pasien berdasarkan aturan penggunaan.
Jepang dan Inggris akan mulai menggunakan obat tersebut kepada pasien. Amerika Serikat, pasar farmasi terbesar di dunia, bulan ini memberikan izin penggunaan darurat untuk remdesivir pada pasien COVID-19, tetapi belum menyetujui penggunaan obat tersebut secara lebih luas.
Lalu apa itu Remdesivir?
Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang dirancang untuk menonaktifkan mekanisme virus dalam mereplikasi diri, termasuk virus corona.
Obat ini pada dasarnya meniru materi genetika virus itu sendiri. Ketika mencoba mereplikasi diri, virus ini justru menggunakan obat yang diberikan, bukan bangunan genetikanya, sehingga akan menggagalkan replikasi tersebut.
Remdesivir sebenarnya pernah diujicobakan sebagai obat virus Ebola, namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya diujicobakan kembali untuk virus corona SARS-CoV-2 setelah menunjukkan hasil dalam mengobati SARS dan MERS.
Ujicoba awal penggunaan remdesivir dikritik karena tidak melihat secara pasti apakah kesembuhan pasien disebabkan obat ini atau karena kondisi pasien memang membaik.
Para ilmuwan kemudian menunggu hasil ujicoba terkontrol secara acak yang dilakukan di China dan AS.
Hasil ujicoba di China, yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada akhir April 2020, menunjukkan remdesivir tidak memiliki manfaat signifikan pada waktu pemulihan pasien.