Vaksin COVID-19 Bakal Tersedia, Dikhawatirkan Timbulkan Kekacauan
- Pixabay
VIVA – Progres menakjubkan telah ditunjukkan oleh para ilmuwan garda terdepan dalam membuat vaksin virus corona atau COVID-19. Pasalnya mereka mengklaim vaksin tersebut diprediksi akan tersedia secepat mungkin.
Ada setidaknya enam orang sukarelawan yang sudah ikut uji tes vaksin COVID-19 di Amerika Serikat dan puluhan lainnya di bawah penanganan evaluasi praklinis, begitu menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kizzmekia Corbett yang merupakan seorang ahli imunologi virus di Pusat Penelitian Vaksin mengatakan kepada media CNN bahwa vaksin virus itu bisa siap digunakan oleh otorisasi penggunaan darurat di awal musim gugur 2020.
Selain itu juga, dia juga menuturkan vaksin tersebut bisa tersedia secara komersial untuk publik di Amerika Serikat pada musim semi 2021 nanti.
Dan dalam keadaan darurat kesehatan dunia ini, sepertinya para peneliti tidak harus meminta persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA). Sebab mereka membutuhkan jangka waktu yang pendek untuk bisa merilis vaksin tersebut.
“Rata-rata lama waktu pembuatan vaksin adalah sekitar 20 tahun,” tutur Paul Offit seorang direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Pennsylvania yang juga dikutip dari laman Business Insider pada hari Rabu, 06 Mei 2020.
Tidak Harus Izin ke FDA
Banyak laboratorium bekerja untuk mencari vaksin ini dengan lebih cepat. Mereka melakukan uji klinis pelacakan cepat yang di uji coba kepada manusia berjumlah enam orang sukarelawan.
Di AS, strategi yang mungkin diterapkan dalam penggunaan vaksin ini adalah memprioritaskan vaksin kepada petugas layanan kesehatan yang menangani pasien COVID-19 terlebih dahulu. Bukan hanya itu, para pekerja apotek, toko bahan makanan, transportasi umum, dan juga orang yang bersedia mengambil vaksin (tanpa lisensi) dari FDA ini harus diprioritaskan.
"Saya pikir pada awalnya, di situlah CDC harus berbobot. Katakan, 'Ini adalah kelompok-kelompok yang harus mendapatkannya terlebih dahulu, dan beginilah seharusnya didistribusikan,” kata Offit.
Belajar dari Vaksin Ebola
Para tahun 2014 lalu, Afrika Barat dilanda epidemi virus Ebola. Dalam masa sulit itu juga para ilmuwan masih dalam tahap pengembangan vaksin dan mau tidak mau harus melewati izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA).
Wabah yang benar-benar membuat lumpuh Afrika Barat tersebut akhirnya memaksa para ilmuwan untuk melangsungkan peluncuran cepat vaksin tanpa izin FDA tersebut. Guinea sebagai negara Afrika Barat pertama akhirnya menggunakan vaksin yang dinamakan Ervebo itu yang langsung diberikan kepada petugas layanan kesehatan dan orang-orang yang berhubungan erat dengan pasien Ebola.
Alhasil, langkah ini terbukti sangat efektif di Guinea sehingga Republik Demokratik Kongo yang kemudian akhirnya dilanda epidemi tersebut menggunakan vaksin yang sama. Kemudian, FDA akhirnya memberikan lisensi vaksin Ervebo pada Desember 2019.
"Sejujurnya saya tidak berpikir itu akan dilisensikan FDA ketika diluncurkan. Ini akan menjadi pertama kalinya vaksin modern didistribusikan ke publik tanpa lisensi FDA,” ujar Offit yang berpendapat bahwa vaksin COVID-19 akan diberikan secara cepat dengan strategi seperti ini.
Bakal Muncul Permasalahan Siapa yang Diprioritaskan
Direktur Jendral WHO, Tedros Adhanom telah mengatakan bahwa mereka memprioritaskan akses yang setara kepada semua orang untuk mendapatkan vaksin COVID-19 yang berhasil di uji coba.
"Pengalaman masa lalu telah mengajarkan kita bahwa bahkan ketika alat tersedia, mereka belum tersedia sama untuk semua orang. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi,” kata Adhanom.
Senada dengan Adhanom, Direktur Pusat Dampak Kebijakan Universitas Duke di Global Health yaitu Gavin Yamey mengatakan bahwa proses distribusi vaksin yang disepakati secara internasional dapat mencegah monopoli yang terjadi. Ini sama halnya kejadian saat vaksin flu H1N1 pada 2009 silam.
Yamey mau sistem yang lebih adil. Seperti meluncurkan vaksin COVID-19 terlebih dahulu ke negara-negara di mana wabah tersebut menyebar paling parah. Kemudian, setelah sampai, pemerintah setempat diimbau untuk memprioritaskan pekerja kesehatan, populasi yang rentan (lansia), serta yang dekat dengan COVID-19.
“Akan ada pertengkaran tentang siapa yang mendapat prioritas. Masuk akal untuk mengatakan, yah, di mana daerah yang terkena dampak terburuk? Atau dari mana itu akan menyebar paling banyak?,” begitu jelas Yamey.
Penulis: Abdullah Saputra