Negara Ramai-ramai 'Serang' China namun Tak Kuasa Menolak Bantuan
- Muhammad AR
VIVA – Dalam situasi pandemi Corona COVID-19 yang sekarang tengah terjadi saling tuding perihal asal virus dan tanggung jawab penularan yang masih terus terjadi. Belakangan, China yang mendapat serangan dari berbagai negara, seperti Australia, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat.
Banyak negara bak ramai-ramai menyerang China karena dianggap ada kesalahan awal penanganan virus Corona yang akhirnya menyebar di seluruh dunia. Hal ini tentu menciptakan pertempuran naratif yang sangat terpolarisasi dan memundurkan ambisi China untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh AS.
Terkait hal ini, China tak kalah memberikan respons yang agresif. China bahkan tetap unjuk diri mengirimkan bantuan medis ke negara-negara lain dengan retorikanya serta menuntut ucapan terima kasih yang disertai dengan ancaman ekonomi dilansir dari Gulf News.
Tindakan China tersebut tentu hanya memberikan pukulan balik dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap China di wilayah Eropa dan Afrika.
Bahkan sebelum virus Corona menyebar, Beijing menampilkan pendekatan yang tegas dengan gaya yang disebut 'prajurit serigala.'
Dengan dorongan yang jelas dari Presiden Xi Jinping dan propaganda yang kuat dari Partai Komunis China, generasi muda diplomat China telah membuktikan loyalitas mereka dengan pesan-pesan nasionalis yang menantang dan kadang mengancam di negara-negara yang mereka tempati.
Protes Wabah
Sejak virus merebak, suara-suara protes makin menguat terhadap China. Dalam beberapa minggu terakhir setidaknya tujuh duta besar China dipanggil oleh pemimpin di masing-masing negara tempat mereka bertugas untuk menjawab tuduhan-tuduhan mulai dari penyebaran informasi yang salah, hingga perlakuan rasis terhadap orang Afrika di Guangzhou, China.
Pada pekan lalu China mengancam menahan bantuan medis dari Belanda karena mengganti nama kantor perwakilannya di Taiwan dan memasukkan kata Taipei di dalamnya. Sebelum itu Kedutaan besar China di Berlin berselisih dengan media Jerman, Bild setelah majalah tersebut menuntut China sebesar $US160 sebagai kompensasi atas krisis yang terjadi di Jerman akibat virus Corona.
Presiden Trump pada pekan lalu juga mengatakan pemerintahannya sedang melakukan investigasi yang serius terkait penanganan Beijing terhadap virus Corona. Ia menekankan agen intelijen AS untuk menemukan sumber dari virus dan mengatakan kemungkinan virus tersebut muncul secara tidak sengaja di laboratorium di Wuhan. Ia juga mengatakan akan mencoba menuntut Beijing atas kerusakan akibat wabah, AS meminta $US10 juta untuk setiap kematian di Amerika Serikat.
Gugatan yang Sembrono
Serangan Trump terhadap China rupanya didukung Partai Republik. Jaksa Agung Missour, Eric Schmitt mengajukan gugatan di Pengadilan Federal yang berusaha meminta China bertanggung jawab atas wabah virus tersebut.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan bahwa gugatan itu adalah hal yang sembrono dan tidak memiliki dasar faktual dan hanya mengundang cemoohan.
"Dari sudut pandang Beijing, seruan ini merupakan gema sejarah dari pembayaran ganti rugi setelah pemberontakan Boxer," kata Direktur Pusat Studi Asia Eropa Rusia, Theresa Fallin merujuk pada pemberontakan anti-imperialis, anti-Christian dan ultranasionalis yang terjadi pada 1899-1901 di China yang berakhir dengan kekalahan dengan pembayaran ganti rugi yang besar selama dekade berikutnya kepada 8Â negara.
"Narasi penghinaan yang dibuat oleh partai, membuat secara politis tidak mungkin bagi Xi untuk setuju membayar ganti rugi apa pun," kata Fallon.
Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi Xi Jinping untuk mengubah narasinya dari kisah kegagalannya menjadi kisah kemenangan atas penyakit.
Dalam narasi terbaru, China mengatakan bahwa virus Corona tidak berasal dari China namun dari militer AS. Tuduhan ini dikatakan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian.
Direktur 21st Century China Center di Univeritas California Susan Shirk mengatakan, para diplomat China telah didorong oleh Beijing untuk bersikap agresif. Pernyataan Zhao tentang militer AS memberi sinyal kepada semua orang di China bahwa yang dilakukannya adalah resmi, sehingga orang mendapatkan efek dari perkataannya tersebut.
Namun menurut Shirk, dalam jangka panjang, China dapat menumbuhkan rasa tidak percaya serta dapat merusak kepentingannya sendiri.
"Ketika China mulai mengendalikan virus dan memulai diplomasi kesehatan ini, ini bisa menjadi peluang bagi China untuk menekankan sisi welas asihnya dan membangun kembali kepercayaan serta reputasinya sebagai kekuatan global yang bertanggung jawab," ujar Shirk.
Namun menurut Shirk, upaya diplomatik tersebut dibajak oleh departemen propaganda partai dengan upaya yang jauh lebih tegas untuk meningkatkan bantuan mereka agar mendapat pujian bagi China sebagai negara dan sistem kinerjanya dalam menghentikan penyebaran virus.
Dalam beberapa hari terakhir, media pemerintah China telah menjalankan banyak pernyataan yang menghasut, serta mengatakan bahwa Australia sebagai "Permen karet yan menempel di bawah sepatu China" setelah mereka menuntut penyelidikan terhadap China.
Beijing memperingatkan bahwa tindakan Australia tersebut dapat menjadi ancaman bagi kemitraan kedua negara dan mengancam akan menarik sepertiga dari ekspor Australia.
Bahkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, ketidakpercayaan terhadap China naik begitu cepat dengan adanya virus Corona. Di Jerman, kekhawatiran muncul mengenai kelayakan Huawei untuk sistem baru 5G, serta kekhawatiran mengenai ketergantungan pada China untuk bahan penting dan obat-obatan.
Prancis yang juga memiliki hubungan baik dengan Beijing juga marah dengan pernyataan para diplomat China termasuk dengan tuduhan bahwa Perancis membiarkan penduduk yang berusia tua untuk meninggal di panti jompo. Hal itu memicu kemarahan dari Menteri Luar Negeri Prancis dan para pejabat pembuat undang undang.
Baru-baru ini, pemerintah Jerman mengeluhkan diplomat China yang meminta surat dukungan dan sekaligus ucapan terima kasih atas bantuan Beijing dan upaya melawan virus Corona.
Hal yang sama juga terjadi di Polandia. Dalam sebuah wawancara, Duta Besar AS untuk Polandia, Georgette Mosbacheer mengatakan tekanan China terhadap Presiden Polandia Andrzej Duda untuk memanggil Xi Jinping namun berterima kasih kepadanya atas bantuan yang dikirimkan.
Baca juga:Â Update Corona Indonesia 4 Mei 2020: 11.587 Kasus, 864 Meninggal
Laporan: Dion Yudhantama