Jejak Penjajahan Belanda di Priangan: Pelesir hingga Stasiun Bogor
- bbc
Bagaimanapun, bangunan pabrik berusia lebih dari satu abad ini masih berdiri dan menjadi saksi bisu sejarah perkebunan Priangan di era kolonial Belanda.
Dari era tanam paksa ke UU Agraria
Keberadaan perkebunan di kawasan Priangan tak bisa dilepaskan dari era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa pada awal abad ke-19, dalam sistem Priangan atau disebut Preangerstelsel.
Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Namun, pada era tersebut, pengangkutan kopi dari dataran tinggi ke pantai menjadi masalah besar, sebagaimana diterangkan sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam buku berjudul Keuntungan kolonial dari kerja paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870.
"Daendels menyatakan ketika ia datang tahun 1808 hampir tidak ada jalan yang dapat dilewati...Penyetoran biji kopi ke gudang pengapalan biasanya menggunakan kerbau, padahal jumlah binatang ini sangat sedikit...Karena sulitnya medan perjalanan...menyebabkan perjalanan pulang-pergi Bandung membutuhkan waktu lebih dari dua bulan," papar Jan Breman dalam buku terbitan 2010 itu.
Agus Mulyana dalam buku Sejarah Kereta Api di Priangan terbitan 2017 menulis: "Lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut."
Bagaimanapun, dalam kondisi transportasi yang sulit, produksi perkebunan Priangan tetap unggul.
Jan Breman mencatat, ketika konsumsi kopi dunia pada 1822 meningkat hingga 225.000 ton, Hindia Belanda memasok 100.000 ton dari total jumlah ini. Dari jumlah itu, "sebagian besarnya berasal dari dataran tinggi Sunda," tulis Jan Breman.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampak menikmati benar hasil perkebunan ini.
Jan Breman mengutip penulis sejarah tanam paksa, C Fasseur, "yang menghitung bagaimana penghasilan uang di Hindia Belanda yang pada 20 tahun pertama tidak lebih dari seperlima pendapatan negara Belanda, meningkat sampai hampir sepertiga bagian pendapatan negara pada tahun 1850-an".
Sejarawan Peter Carey mengatakan: "Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan US$75,5 miliar hari ini)."
Pernyataan Carey terkonfirmasi dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya sejarawan M C Ricklefs.
Ricklefs menyebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.
Perekonomian Belanda sebelumnya memang sempat goyah akibat Perang Jawa (1825-1830). Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira US$2,5 miliar untuk hari ini) telah dikeluarkan dari kas negara untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu.
Akan tetapi, sistem tanam paksa tersebut dihujani kritik oleh berbagai kalangan, termasuk Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar.
Ada pula kritik dari kelompok liberal yang menuding Cultuurstelsel telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda merespons kritik-kritik itu dengan memberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.
"Undang-undang agraria atau Agrarische Wet 1870 membuka peluang lebih besar bagi pihak swasta untuk masuk ke dalam sektor perkebunan di Priangan. Tentunya ini membawa dampak makin luasnya area perkebunan di Priangan," papar Dicky Soeria Atmadja, wakil ketua International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia.
"Dan dengan semakin luasnya area perkebunan tentunya kebutuhan transportasi terutama kereta api juga akan makin meningkat. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah mendorong dibangunnya kembali beberapa jalur atau sejumlah jalur di Priangan untuk mendukung perkebunan-perkebunan baru ini," tambah Dicky.