Jepang Termasuk Sangat Sedikit Lakukan Tes Corona COVID-19, Mengapa
- bbc
"Saya mendengar suara sirine ambulans saat telepon itu. Dia batuk dan suara napasnya nyaring sehingga saya tak mendengar jelas apa yang dia katakan," kata Jordain.
"Setelah dua jam, barulah rumah sakit menerimanya. Sepanjang waktu itu, pernapasannya semakin buruk," tuturnya.
Pihak rumah sakit melakukan X-ray dada ulang dan meminta temannya menjalani tes Covid-19 di pusat kesehatan setempat. Namun sang dokter tidak bersedia memberi surat rekomendasi. Sebaliknya, dia dipulangkan menggunakan taksi.
"Mereka bilang kawan saya mesti membuka jendela taksi dan semuanya akan baik-baik saja," kata Jordain.
Pada 17 April, Jordain mengontak pusat kesehatan setempat. Selama dua jam dia dirujuk ke sejumlah bagian.
Jordain menjawab beberapa pertanyaan sebelum akhirnya dia berhasil membuatkan janji tes untuk kawannya. Tapi dia mendapat peringatan.
"Dia harus masuk dari pintu samping. Dia tidak boleh berkata kepada siapapun di mana lokasi tes. Itu biasa memicu kekacauan," ujar Jordain mengulang peringatan yang diterimanya.
Di luar konteks tekanan yang membuat seseorang menanggap kesehatannya dalam ancaman, mengapa semua kisah ini penting? Lagi pula angka kematian akibat Covid-19 di Jepang sangat rendah, di bawah 400 orang.
Di media sosial saya kerap diberitahu bahwa Jepang mengidentifikasi siapa yang benar-benar membutuhkan bantuan dan layanan kesehatan di negara itu mumpuni.
Dan itulah yang disebut mengapa sangat sedikit orang meninggal akibat penyakit ini.