Ulama Turki Picu Kontroversi Sebut Kaum LGBTQ Menyebarkan Penyakit
- dw
Studi yang digelar Asosiasi Internasional untuk Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA) pada akhir 2019 silam menempatkan Turki sebagai negara nomor dua di Eropa yang paling tidak ramah LGBTQ+.
Konstitusi Turki sejatinya tidak secara gamblang membahas hak minoritas seksual menjalani gaya hidup masing-masing. Namun pemerintahan konservatif di bawah AKP giat membatasi ruang gerak mereka.
Sejak 2017 pemerintah melarang minoritas seksual mengadakan acara di depan publik. Meski aturan ini dibatalkan pengadilan administrasi pada April 2019, pemerintah tetap mengganyang hak kaum LGBTQ+ untuk berkumpul.
November lalu setidaknya 19 aktivis ditangkap oleh polisi dan didakwa “ikut berpartisipasi di dalam pertemuan ilegal” usai menghadiri sebuah acara LGBTQ+ di kompleks kampus Middle East Technical University. Mereka terancam tiga tahun penjara.
Aksi penggerebekan terhadap acara LGBTQ+ kian marak, terutama di Istanbul. Pada 30 Juni 2019, lapor ILGA, polisi bahkan menembakkan gas air mata untuk membubarkan khalayak di sebuah acara gay.
Menurut Amnesty International, polisi Turki sering dikeluhkan memperlakukan kaum LGBTQ+ korban tindak kejahatan atau persekusi sebagai pelaku kriminal. Sebab itu banyak kasus serangan terhadap minoritas seksual yang tidak tercatat.
rzn/vlz (afp, dpa, rtr)