Zara dan H&M Batalkan Pesanan, 2 Juta Pekerja Bangladesh Terancam PHK
- bbc
Pusat-pusat fesyen di seluruh dunia menutup pintunya karena berbagai kebijakan karantina, tapi korban yang kerap dilupakan adalah mereka yang hidup ribuan kilometer dari toko-toko fesyen tersebut.
Sabina Akhter adalah salah satu di antara mereka. Ia bekerja di pabrik garmen di pinggiran Dhaka, Bangladesh, bekerja menjahit baju untuk pasar Eropa.
Beberapa hari lalu, sang bos mengumumkan bahwa Sabina tidak dapat meneruskan operasi pabrik karena pembelinya di Eropa telah membatalkan pesanan karena wabah virus Corona.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan. Aku kehilangan pekerjaan dan aku tidak mau bagaimana bisa membeli makanan," katanya.
- Penyaluran bantuan sosial `ke orang yang sudah meninggal`, skema kebijakan dinilai `tidak tepat sasaran`
- `Karantina wilayah membuat kehidupan jutaan anak keluarga miskin di India kacau balau`
- Gelombang PHK di tengah pandemi Covid-19 diperkirakan mencapai puncak bulan Juni, Kartu Prakerja dianggap tak efektif
Anisa Begum juga telah dipecat. Ia saat ini tinggal di rumah dengan keluarganya yang beranggotakan tujuh orang di pinggiran Dhaka.
Ia mengatakan ia dan suaminya bisa bertahan dengan hanya satu kali makan per hari, tapi anak-anaknya tidak bisa.
"Jika pemerintah tidak membantu, kami tidak bisa bertahan."
Khaleda Parvin mengatakan pabrik di mana ia bekerja memecat semua orang tanpa peringatan sebelumnya.
"Aku pulang kampung karena libur nasional," kata Khaleda.
"Pabrik kami seharusnya buka kembali pada 5 April. Saat saya kembali untuk bekerja, seseorang sudah memasang peringatan yang menyatakan semua pekerja sudah diberhentikan."
Ketergantungan pada ekspor
Bangladesh adalah salah satu eksportir garmen utama di dunia dan amat bergantung pada pasar Eropa dan Amerika.
Industri garmen merupakan tumpuan ekonomi Bangladesh. Industri tersebut mempekerjakan lebih dari empat juta pekerja, sebagian besar merupakan perempuan.
Sekitar 83% pemasukan Bangladesh didapat dari ekspor garmen yang totalnya mencapai lebih dari $32 miliar per tahun.
Industri ini bergantung pada pasar Eropa dan Amerika. Jika pasar tersebut berhenti membeli pakaian, industri garmen lokal akan berhenti total.
Dan beberapa merek-merek ternama dunia sudah membatalkan pesanan mereka yang nilainya dapat mencapai $3 miliar.
Gap, Zara dan Primark merupakan beberapa dari merek tersebut. Primark sudah menutup toko-tokonya di beberapa negara, termasuk Italia, Prancis, Austria, dan Inggris. Zara juga sudah menutup sementara toko-tokonya.
Tuduhan tidak menanggung tanggung jawab moral
Human Rights Watch mengkritik keras sikap perusahaan fesyen Barat.
Kelompok tersebut menuduh perusahaan-perusahaan membatalkan pesanan tanpa menanggung tanggung jawab moral maupun finansial, meskipun pekerja telah menyelesaikan pesanan.
Menyusul kritik dan tekanan, beberapa merek termasuk H&M dan Inditex - pemilik Zara - menyatakan berkomitmen membayar secara penuh atas pesanan yang ada dari pabrik-pabrik baju.
Tapi pembatalan pesanan telah menimbulkan dampak yang buruk bagi usaha dan pekerja, menurut survei terbaru dari Centre for Global Workers` Rights.
Pembeli menolak membayar
Studi menunjukkan bahwa saat pesanan dibatalkan, 72,1?ri pembeli menolak membayar ganti rugi atas bahan mentah (kain, dan sebagainya) yang sudah terlanjur dibeli, dan 91,3% pembeli menolak untuk membayar ongkos produksi.
Hasilnya, 58?ri pabrik yang disurvei mengaku harus menutup sebagian besar operasi mereka.
"Lebih dari dua juta pekerja pabrik garmen kemungkinan akan kehilangan pekerjaan," kata Rubana Huq, presiden Asosiasi Pabrik dan Eksportir Garmen Bangladesh.
"Tidak ada konsumen yang akan membeli baju atau celana sekarang. Mereka fokus membeli makanan dan obat karena pandemi," katanya.
Pemilik pabrik juga merugi
Miran Ali adalah direktur pelaksana Misami Garments Ltd. Pabriknya membuat pakaian untuk H&M dan telah beroperasi sejak 1991.
"Kami mengalami kesulitan keuangan yang cukup parah," katanya. "Kami hampir pasti sedang menghadapi kehancuran."
Pabriknya memperjakan sekitar 16.000 orang. Ia ingin segera membuka kembali pabriknya tapi pembatasan sosial membuat hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Pemerintah menawarkan paket stimulus untuk menyubsidi gaji pegawai tapi tantangan sangat besar.
`Penuh ketakutan`
Bangladesh sudah menerapkan lockdown sejak 26 Maret.
Per Minggu (26/4), ada 4.998 kasus positif Covid-19 dan 140 kematian.
Industri garmen diberikan kelonggaran dari lockdown tapi beberapa pekerja mengatakan beberapa pabrik tidak memedulikan keselamatan mereka.
"Aku pergi bekerja setiap hari dan aku sangat takut," kata seorang pekerja garmen kepada BBC.
"Di pabrik tempatku bekerja, ada banyak orang yang bekerja di tempat sempit dengan risiko penularan tinggi. Saya khawatir akan nyawa saya."