Pandemi Corona, Pabrik di Jalur Gaza Produksi APD untuk Israel
- Asharq Al-Awsat
VIVA – Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, sejumlah pabrik tekstil di wilayah Jalur Gaza mendapat keuntungan yang tak terduga di tengah pandemi Corona COVID-19. Pabrik-pabrik tersebut harus beroperasi lebih ekstra karena melonjaknya permintaan masker, sarung tangan, dan alat pelindung diri (APD).
Peristiwa ini sebelumnya tak pernah terjadi di wilayah yang diblokade oleh Israel itu sejak Hamas merebut kekuasaan pemerintahan Palestina dari Fatah pada tahun 2007 lalu. Pergerakan Hamas dalam melawan blokade Israel membuat terjadinya konflik yang menghancurkan ekonomi di kawasan tersebut dengan meningkatnya angka pengangguran.
Menurut laporan Associated Press, keberkahan ini mendadak menunjukkan bagaimana ekonomi Gaza sangat bergantung terhadap penegakkan blokade. Sebab, hal tersebut membuat para pekerja di Jalur Gaza mendapatkan pendapatan yang stabil.
Memang, di tengah pandemi corona, sebagian besar warga Gaza bisa terhindar dari virus mematikan itu. Sejauh ini, hanya 17 kasus pasien yang terinfeksi positif di wilayah tersebut. Selain itu, sejumlah fasilitas kesehatan yang ada, sudah cukup memadai untuk mengkarantina pasien terinfeksi Corona.
Namun, masih banyak warga miskin yang takut dengan wabah COVID-19 karena sistem kesehatan di wilayah tersebut yang telah terpukul akibat konflik selama bertahun-tahun. Akan tetapi, untuk saat ini, pihak yang bertikai agak hati-hati dalam mengambil tindakan supaya kegiatan pabrik-pabrik tersebut tetap berjalan.
Rizq al-Madhoun, pemilik perusahaan garmen bernama Bahaa, mengatakan, bahwa kegiatan produksinya meningkat. Dalam 3 pekan terakhir, dikatakan Rizq, pabriknya telah memproduksi 1 juta masker, meskipun kualitas mesin di perusahaannya belum terlalu canggih.
"Pekerja Gaza sangat berbeda dalam melakukan pekerjaan tangan dan mereka lebih baik daripada pekerja di China atau Turki. Memang, semua barang yang kami produksi untuk Israel," ucapnya.
Sedangkan, pabrik lain, Unipal 200, mampu memperkerjakan 800 pegawai dalam dua shift untuk menghasilkan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Unipal pun mampu memproduksi 150.000 lembar masker, sarung tangan, dan APD dalam waktu sehari, untuk memenuhi permintaan tinggi karena seluruh negara-negara di dunia saling berebut mendapatkan barang tersebut.
Tetapi, tak bisa dipungkiri, kedua pabrik tersebut masih mengimpor seluruh bahan mentahnya dari Israel, maka seluruh produksi pun kembali di ekspor ke sana. Ketika ditanya soal masalah tersebut, kedua pabrik itu sepakat untuk tidak membahas masalah konflik, dan lebih fokus untuk mementingkan persoalan bisnis dan kemanusiaan.
"Terlepas dari pengepungan di Gaza, kami mengekspor masker dan APD ini ke seluruh dunia tanpa terkecuali. Kami merasa sedang menjalankan tugas kemanusiaan," ujar pemeilik Unipal 200, Bashir Bawab.
Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, salah satu seorang pekerja tekstil terampil, Tamer Emad, mengaku, setiap bulannya hanya mampu mendapatkan pekerjaan selama satu pekan. Namun, satu bulan terakhir ini, ia sanggup memperoleh pendapatan 8 dolar AS per shift dalam sehari.
"Ini memberi kami keberkahan jelang bulan Ramadhan. Bulan suci segera dimulai, dan secara tradisi, kami harus banyak mengeluarkan banyak uang untuk berbelanja makanan dan lainnya," katanya.
Upah sebesar itu mencerminkan biaya hidup yang masih kurang layak bagi warga Gaza karena konflik berkepanjangan, yang membuat sebagian keluarga kurang mampu tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebab, untuk rata-rata biaya tempat tinggal, warga Gaza harus membayar sewa apartemen 2 kamar seharga 250 dolar AS per bulan.
Omar Shabab, salah satu ekonom yang juga mengepalai lembaga keuangan lokal, mengatakan, blokade Israel yang terlalu menekan warga Palestina akan memungkinkan terjadinya ekspoitasi. Hal ini disebabkan karena pekerja mendapatkan upah yang rendah, tapi hasil produksinya memberikan pemasukan yang banyak kepada orang lain.
Sebuah organisasi Israel yang mengadvokasi pelonggaran blokade di Gaza, Gisha, menyerukan, kepada pemimpin Israel untuk berkontribusi lebih banyak dalam mempromosikan kegiatan ekonomi wilayah itu.
"Pandemi telah menciptakan permintaan untuk produk-produk yang diproduksi di Gaza, tapi Israel sebahrusnya mencabut pembatasan perdagangan sepenuhnya sehingga penduduk Gaza dapat bekerja dan ekonomi Gaza yang goyah dapat menguatkan dirinya sendiri semampu mungkin terhadap ancaman krisis global yang lebih yang disebabkan oleh pandemi ini," demikian pernyataan Gisha.
Baca Juga: Kembali Caplok Wilayah Tepi Barat, Israel Dikecam Uni Eropa dan PBB