Mengapa Negara yang Dipimpin Perempuan Lawan Wabah Corona Lebih Baik
- bbc
Karena itu, pemimpin pria yang tidak masuk stereotipe seperti yang dijelaskan Prof Cambell mendapati angka kematian yang relatif sedikit di negara mereka.
Di Korea Selatan, misalnya, penanganan Presiden Moon Jae-in dalam krisis Covid-19 berujung pada kemenangan partainya dalam pemilihan anggota parlemen, 15 April lalu.
Kemudian, PM Yunani, Kyriakos Mitsotakis, disanjung karena dinilai mampu meminimalisir jumlah kematian akibat Covid-19. Hingga 20 April, sebanyak 114 orang meninggal di Yunani, negara berpenduduk 11 juta jiwa.
Sebagai perbandingan, Italia, negara berpenduduk 60 juta jiwa, mencatat 22.000 orang meninggal dunia.
Yunani mampu menghadapi wabah ini dengan memprioritaskan anjuran saintifik dan menempuh langkah menjaga jarak aman—sebelum kematian pertama tercatat.
Ada pula negara dengan pemimpin perempuan yang kewalahan menghadapi penyebaran virus corona.
Sebagai contoh, Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina. Walau dia telah berupaya menghambat penyebaran virus, ada kekhawatiran mengenai kapasitas pengujian di Bangladesh yang terbatas.
Kemudian masih ada masalah kekurangan alat pelindung diri (APD) yang membuat para tenaga kesehatan semakin terpapar risiko.
Keputusan-keputusan sulit
Guna menghentikan penyebaran Covid-19, para pemimpin harus membuat keputusan-keputusan sulit, seperti menghentikan perputaran roda ekonomi pada tahap awal pandemi.
Pilihan-pilihan tersebut mengandung biaya politik tinggi dalam jangka pendek, yang "berkebalikan dengan keinginan para pemimpin populis", kata Prof Campbell.
Di sisi lain, para pemimpin perempuan justru mampu memenangi opini publik dengan berbicara secara terbuka dan transparan mengenai tantangan yang dihadapi negara mereka.