Logo BBC

Mengapa India Belum Berani Akhiri Karantina Wilayah akibat Corona

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

 

Tes Covid-19 di India
Getty Images
India menggencarkan tes saat masa karantina.

 

Akankah India memperpanjang masa karantina 21 hari untuk memperlambat penyebaran virus corona? Karena berbagai alasan, ya.

Pada 24 Maret lalu, India menghentikan ekonominya yang bernilai $2,9 triliun, menutup bisnis-bisnisnya dan memerintahkan lebih dari satu miliar orang tidak keluar rumah. Sistem transportasi udara, jalan dan rel ditunda.

Sekarang, lewat dua bulan setelah kasus pertama Covid-19 terdeteksi di negara itu, lebih dari 5.000 orang dinyatakan positif dan sekitar 150 orang meninggal dunia. Seiring tes digencarkan, gambaran sebenarnya mulai muncul.

Virus mulai menyebar ke permukiman-permukiman padat dan klaster infeksi baru dilaporkan setiap hari. Membuka karantina bisa berisiko memicu gelombang infeksi baru.

 

 

`Lockdown` yang ketat pasti akan menghambat penyebaran penyakit. Seorang pakar virologi berkata kepada saya ia percaya bahwa India masih di tahap awal infeksi.

Negara ini belum memiliki cukup data tentang penularan virus atau bahkan berapa banyak orang yang bisa terinfeksi dan sembuh untuk mengembangkan kekebalan kawanan yang memadai. (Tes tusuk jari mulai dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antibodi pelindung dalam darah.)

Lebih dari 250 dari 700 distrik di India telah melaporkan infeksi Covid-19. Berbagai laporan mengatakan sedikitnya tujuh negara bagian menyumbang sepertiga dari keseluruhan infeksi, dan ingin masa `lockdown` diperpanjang.

Enam negara bagian telah melaporkan klaster infeksi yang berkembang pesat — dari ibu kota Delhi di utara ke Maharashtra di barat dan Tamil Nadu di selatan.

 

Keruntuhan ekonomi

 

Tidak diragukan lagi, `lockdown` telah mencederai ekonomi. Banyak `titik panas` (hotspot) penularan di awal epidemi adalah mesin pertumbuhan ekonomi dan memberikan kontribusi besar berupa pendapatan kepada kas negara.

Mumbai, ibukota finansial India dan kota terbesar di Maharashtra, menyumbang lebih dari sepertiga dari keseluruhan pajak. Kota berpenduduk padat itu telah melaporkan lebih dari 500 kasus dan 45 kematian, dan jumlahnya terus meningkat.

Pihak berwenang mengatakan infeksi sekarang menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Mumbai telah mewajibkan pemakaian masker.

 

Laki-laki India saat karantina wilayah
Getty Images
Lebih dari satu miliar orang tidak keluar rumah selama masa karantina.

 

Banyak dari klaster hotspot ini juga merupakan basis manufaktur yang berkembang pesat. Penyebaran infeksi berarti mereka akan dikarantina lebih lama.

Industri jasa, yang menyumbang hampir setengah PDB India, juga mungkin bakal tutup untuk beberapa waktu lagi. Proyek-proyek konstruksi, yang mempekerjakan sebagian besar pekerja migran, akan ditangguhkan.

Tingkat pengangguran mungkin telah naik menjadi lebih dari 20% setelah pemberlakuan karantina wilayah, menurut laporan Center for Monitoring Indian Economy.

Untuk saat ini, para ekonom mengatakan, pemerintah harus memprioritaskan pertanian dari yang lain demi memastikan penghidupan jutaan orang dan mengamankan suplai makanan negara itu di masa depan.

Setengah dari angkatan kerja India bekerja di pertanian. Karantina wilayah terjadi saat tanaman musim dingin harus dipanen dan dijual, dan tanaman musim panas tadah hujan harus disemai. Tantangannya ialah memanen dan memasarkan yang pertama, dan mengamankan yang kedua.

Mengerahkan truk untuk mengangkut hasil panen dan membawanya ke pasar, dengan penjarakan sosial yang memadai dan protokol mencuci tangan harus segera dilakukan pemerintah.

"Tantangan pertamanya ialah memastikan pedesaan India tidak terkena [coronavirus]," kata Rathin Ray, ekonom. "Secara realistis, penutupan total tidak bisa terus dipertahankan setelah awal Mei. Kita tidak punya pilihan selain membuka kembali secara bertahap setelah itu."

 

Tulisan di jalanan kota Mumbai
Getty Images
India telah memberlakukan karantina wilayah sejak 24 Maret.

 

Hampir tak ada keraguan soal itu. SK Sarin, yang mengepalai panel penasihat pemerintah untuk pemberantasan penyakit ini, mengatakan karantina wilayah hanya dapat diringankan "secara bertahap di wilayah yang bukan hotspot" dan titik-titik panas tetap ditutup.

Seperti negara-negara terdampak lainnya, India harus mempersiapkan diri untuk yang disebut Gabriel Leung, pakar epidemiologi penyakit menular dan dekan fakultas kedokteran di Universitas Hong Kong, sebagai beberapa siklus "tekan dan angkat".

Selama periode ini "pembatasan diterapkan dan dikurangi, diterapkan lagi dan dikurangi lagi, sedemikian rupa sehingga dapat menjaga pandemi tetap terkendali tetapi dengan ongkos sosial dan ekonomi yang bisa diterima."

Dokter Leung juga mengamati, "cara terbaik melakukan itu akan berbeda-beda di setiap negara, tergantung pada kemampuannya, toleransi terhadap gangguan dan niat kolektif rakyatnya.

"Namun, dalam semua kasus, pada dasarnya tantangannya ialah tarik ulur antara memerangi penyakit, melindungi ekonomi dan menjaga masyarakat tetap stabil ".

Sekarang jelas bahwa penutupan-penutupan perlu dilanjutkan sampai transmisi melambat secara signifikan, dan infrastruktur pengujian dan kesehatan telah ditingkatkan untuk menangani wabah.

Para ahli dari negara bagian selatan Kerala, daerah pencilan yang mampu mengendalikan infeksi berkat pemerintah yang transparan dan sistem kesehatan masyarakat yang kuat, mengatakan belum waktunya untuk mengangkat karantina.

Bagi kebanyakan warga di India, melonggarkan karantina wilayah adalah pilihan kebijakan yang rumit. Ia memicu kekhawatiran akan gelombang infeksi baru dan memaksa orang-orang memilih antara hidup dan penghidupan.

Perdana Menteri Prancis Edouard Phillipe, mengatakan melonggarkan lockdown di negaranya akan menjadi "sangat rumit". Dalam krisis seperti ini, menurut sejawatnya dari Belanda Mark Rutte, para pemimpin harus "membuat 100% keputusan dengan 50% pengetahuan, dan menanggung konsekuensinya."

 

Mumbai
Getty Images
Ibu kota finansial India, Mumbai, muncul sebagai hotspot.

 

Ini akan menjadi lebih sulit bagi India dengan ukurannya yang besar, populasi yang padat, dan sistem kesehatan masyarakat yang lemah. Juga, mungkin tidak ada negara di dunia yang memiliki begitu banyak migrasi antar negara bagian para pekerja lepas, yang merupakan tulang punggung industri jasa dan konstruksi.

Bagaimana India bisa mengembalikan para pekerja ini ke tempat kerja mereka – pabrik, pertanian, lokasi konstruksi, toko – tanpa mengurangi pembatasan pada transportasi umum padahal kereta dan bus yang penuh sesak bisa menjadi vektor penularan dan bisa dengan mudah menetralisir manfaat dari karantina wilayah?

Bahkan mengizinkan pergerakan terbatas – dengan penjarakan sosial, pemeriksaan suhu, dan kebersihan penumpang – akan memberi tekanan besar pada sistem transportasi umum.

Pilihan kebijakan sangat sulit, dan jawabannya jauh dari mudah. India mengacaukan karantina dengan tidak mengantisipasi eksodus jutaan pekerja migran dari kota. Dalam pekan-pekan mendatang kita akan tahu apakah laki-laki, perempuan dan anak-anak yang mudik membawa infeksi ke desa mereka.

India tidak bisa melakukan kesalahan yang sama saat berusaha mengendurkan karantina. Nitin Pai dari The Takshashila Institution, sebuah lembaga kajian, percaya negara-negara bagian harus dibiarkan memutuskan apakah akan melonggarkan pembatasan, dan keputusan itu "harus didasarkan pada ancaman [infeksi], yang harus dipastikan dengan pengujian ekstensif".

Pekan ini Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan "situasi di negara ini mirip dengan keadaan darurat sosial". Pemerintahannya sekarang perlu memastikan bahwa ancaman yang membayangi kesehatan dan kemajuan ekonomi bangsa ditangani dengan terampil.