Eh Buset, di Jerman Pembalut Wanita Kena Pajak 19 Persen
- dw
Pagi hari di musim gugur yang kelabu di distrik pemerintah Berlin, sejumlah pengunjung berdesak-desakan di ruang pertemuan dalam sebuah gedung di sebelah gadung Reichstag. Seorang wartawan bernama Jule Schulte datang ke ruangan ini membawa petisi yang menuntut agar pemerintah Jerman menurunkan pajak atas tampon, pembalut dan produk menstruasi lainnya. Schulte telah mengumpulkan lebih dari 80.000 tanda tangan dari para pendukung, termasuk produsen tampon serta penjual obat-obatan.
Jerman telah lama menerapkan pajak PPN sebesar 19 persen untuk produk menstruasi. Pengenaan pajak ini membuat harga tampon, pembalut dan cangkir menstruasi lebih mahal sekitar seperlima persen dari harga semula. Bagi Schulte, masalah ini jelas: tingkat PPN yang tinggi pada produk-produk untuk datang bulan dinilai tidak adil.
Wartawan ini melakukan kalkulasi bagi para politisi yang juga hadir. Sepanjang hidupnya, seorang perempuan mengalami haid dalam rentang waktu sekitar 40 tahun, selama lima hari dalam sebulan. Ini berarti rata-rata perempuan menghabiskan enam setengah tahun hidupnya mengalami menstruasi. Ini bukan pilihan. Schulte menggarisbawahi: menstruasi terjadi, "terlepas dari apakah orang suka atau tidak."
Pajak bunga potong dan ikan peliharaan lebih rendah
Sebenarnya ada ketentuan untuk mengurangi tarif pajak yang berlaku bagi produk konsumsi sehari-hari, termasuk makanan, bunga potong, ongkos bus, tiket kereta api (mulai 2020), atau hewan peliharaan seperti ikan mas. Semua produk ini dikenakan tarif pajak sebesar 7 persen, dan bukannya 19 persen seperti yang diterapkan pada tampon, pembalut, cangkir menstruasi, dan produk lainnya.
Sebelum inisiatif dari Schulte, Parlemen Jerman, Bundestag, sebenarnya telah menerima banyak petisi, baik di atas kertas maupun online, termasuk petisi change.org awal tahun ini yang mengumpulkan hampir 200.000 tanda tangan.
Tetapi hingga musim panas 2019, parlemen secara konsisten menolak petisi ini, mengklaim bahwa PPN 19 persen untuk produk menstruasi bukan hal yang diskriminatif. Schulte menjawab dengan sederhana: "Karena ayah (inisiator) dari pajak tampon tidak pernah mengalami menstruasi."
"Tidak mengherankan bahwa topik semacam itu hanya mendapat sedikit perhatian di parlemen yang sebagian besar terdiri dari laki-laki," kata Ulle Schauws, juru bicara Partai Hijau di parlemen untuk urusan perempuan dan kebijakan lainnya. Lebih dari dua pertiga dari anggota parlemen adalah laki-laki, dan jumlah anggota parlemen perempuan benar-benar menurun dalam pemilihan federal terbaru tahun 2017 lalu.
Jerman masih di bawah India dan Kenya