Veronica Koman Ngadu ke Parlemen Australia, Minta Setop Kasus di Papua
- abc
Aktivis HAM Veronica Koman mengadu ke Parlemen Australia, meminta mereka untuk membantu menghentikan segala tindak kekerasan yang terjadi di Papua. Australia dinilai bisa menekan Indonesia dalam isu ini tanpa melecehkan kedaulatan RI.
Aktivitas Veronica Koman:
- Veronica Koman menemui Sub Komite HAM Parlemen Australia, mengupdate mereka soal situasi yang terjadi di Papua
- Vero kini jadi buronan polisi setelah Polda Jatim menetapkan dia sebagai Tersangka provokator dan penyebaran berita bohong
- Diplomasi RI dinilai selalu ketinggalan dalam menghadapi isu Papau di pentas internasional
Didampingi oleh LSM Amnesty International Australia, Vero yang kini masuk daftar pencarian orang (DPO) Kepolisian RI (Polri) menemui Sub Komite HAM Parlemen Australia yang terdiri atas politisi dari fraksi pemerintah dan oposisi pada hari Rabu (16/10/2019) di Canberra.
Para anggota Sub Komite HAM Parlemen Australia yang menemui Vero antara lain Kevin Andrews dari Partai Liberal (fraksi pemerintah), serta Maria Vamvakinou dan Peter Khalil dari Partai Buruh yang beroposisi.
Vero bersama aktivis Amnesty Joel Clark dan Rose Kulak juga menemui politisi lainnya seperti Ketua Partai Hijau Senator Richard Di Natale yang dikenal vokal menyuarakan isu Papua.
Kepada para politisi itu, Vero meminta Pemerintah Australia untuk berbuat lebih banyak dalam membantu menghentikan kekerasan di Papua.
"Kami bertemu dan memberikan laporan kepada Sub-Komite HAM Parlemen, juga kepada para Senator dan anggota parlemen dari Partai Buruh, Liberal, Nasional, dan Partai Hijau," tulis Vero di laman Facebooknya.
"Mereka mencakup pemerintahan yang sedang berkuasa saat ini dan juga pemerintahan oposisi. Mereka semua antusias dan banyak bertanya dalam tanggapannya, karena ternyata mereka memang mendengar adanya kisruh namun belum tahu secara detail," lanjutnya.
Kepada ABC melalui pesan teks, Veronica mengatakan dirinya benar-benar berharap Australia memainkan peran yang lebih besar dalam penanganan konflik di ujung timur Indonesia itu.
Dia juga mengaku sangat menanti pertemuan antara Pemerintah RI dengan kelompok pro-referendum Papua.
"Saya harapannya supaya Australia sebagai negara terbesar di Pasifik dan salah satu tetangga terdekat bisa bantu menghentikan pertumpahan darah di West Papua," katanya.
"Apalagi Presiden Jokowi dan Pak Moeldoko "kan sudah bilang bersedia bertemu dengan kelompok pro-referendum, dan dari ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) juga sudah menyatakan kesediaan meski disertakan dengan beberapa syarat."
"Jadi semoga saja cepat terwujud," ujarnya.
Sebelumnya pada 8 Oktober lalu Vero juga telah menemui Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet yang sedang berkunjung ke Sydney.
Dia mengaku menyampaikan perkembangan situasi terkini dari krisis di Papua, terutama soal pendekatan keamanan yang dilakukan Pemerintah RI.
"Saya juga memberitahunya soal penggunaan kekuatan berlebihan saat protes mahasiswa soal reformasi hukum yang digelar di seluruh Indonesia," kata Vero mengenai pertemuan itu.
Dia juga menyampaikan kepada Michelle Bachelle soal banyaknya warga sipil yang kini terpaksa mengungsi dari Papua.
Veronica Koman yang kini tinggal di Australia mengatakan pengerahan aparat secara massif tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan di Papua.
"Pemerintah pusat seharusnya sudah tahu hal itu, berangkat dari berbagai pengalaman di masa lalu," sebutnya.
Pertemuan Vero dengan anggota Parlemen Australia turut dihadiri dua aktivis dari organisasi Amnesty International Australia.
Veronica Koman bertemu dengan Komisioner HAM PBB, Michelle Bachelet di Sydney pada 8 Oktrober 2019.
Facebook: Veronica Koman
Dalam keterangannya kepada ABC, aktivis Amnesty Joel Clark mengatakan, Australia sebenarnya bisa dan harus menekan Indonesia untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua Barat sambil tetap mengakui dan menghormati kedaulatan negara tetangganya itu.
"Situasi di Papua saat ini terburuk selama 20 tahun terakhir, dan tak ada tanda-tanda membaik," katanya.
"54 empat orang tewas dalam pertikaian yang melibatkan aparat keamanan dan polisi dalam beberapa bulan terakhir, lebih dari 60.000 warga sipil mengungsi, dan ribuan orang ditahan," jelasnya.
Joel menyebut jelas ada krisis HAM yang sedang terjadi di Papua.
Karena itu, dia meminta Menlu Australia Senator Marise Payne untuk mendesak Indonesia menepati janji untuk dialog dengan warga Papua, membolehkan PBB dan jurnalis asing masuk ke Papua, serta melindungi para aktivis HAM.
"Di Canberra, para anggota Parlemen kaget dengan kondisi yang memburuk. Harus ada upaya lebih untuk mengekspos apa yang terjadi di Papua, dan kami menyerukan semua politisi (Australia) untuk memainkan peran mereka dalam hal itu," kata Joel, yang mendampingi Veronica dalam pertemuan tersebut.
ABC menghubungi Kemenlu RI untuk meminta komentar terkait pertemuan Veronica Koman dengan Parlemen Australia.
Juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah menolak untuk memberi tanggapan. Dia justru mempertanyakan kiprah Veronica tersebut.
"Sebagai seorang yang mengaku pakar hukum, sudah sepatutnya dia berkaca terlebih dahulu atas hal etika dan tanggung jawab hukumnya terhadap LPDP (lembaga beasiswa) yang telah membiayai pendidikannya di luar negeri selama ini," katanya.
"Dirinya jelas-jelas mengikari kesepakatan yang ditandatanganinya dengan pihak LPDP," kata Jubir Kemenlu RI Faizasyah kepada jurnalis ABC Nurina Savitri.
Kurang menyentuh akar
Rusli, seorang pengamat hubungan internasional di sebuah lembaga riset terkenal di Jakarta yang tidak bersedia disebutkan identitas aslinya, mengatakan diplomasi Indonesia secara strategis sebenarnya tidak sepenuhnya dikontrol oleh Kemenlu.
"Ingat aspek intermestik dalam hubungan internasional," kata Rusli merujuk pada makna agar kebijakan luar negeri tidak hanya bersifat aspiratif, tetapi juga bersifat partisipatif.
"Bagaimanapun kondisi HAM di Papua bukan tugas Kemenlu. Ada tentara di sana," jelasnya.
Rusli menilai Kemenlu menjadi kerepotan karena pemangku kepentingan politik di level domestik membuat kerja-kerja diplomasi semakin berat.
"Nah dalam hal ini antara mengelola isu secara lebih manusiawi dengan menekankan isu keamanan juga repot," kata Rusli.
"Makanya di PBB kita selalu bicara dalam kacamata sovereignty (kedaulatan) bukan pada persoalan yang lebih menyentuh akar," jelasnya.