Logo BBC

Karpet Merah Arab Saudi untuk Rusia

Presiden Rusia, Vladimir Putin, bertemu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, pada 14 Oktober. - EPA
Presiden Rusia, Vladimir Putin, bertemu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, pada 14 Oktober. - EPA
Sumber :
  • bbc

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa karpet merah digelar untuk pemimpin Rusia di Riyadh, Arab Saudi.

Apalagi warga Arab Saudi kerap menjuluki orang-orang Uni Soviet, nama dahulu Rusia, sebagai "komunis tak bertuhan" pada masa Perang Dingin.

Tapi zaman sudah berubah. Pekan ini, tentara Arab Saudi melepaskan tembakan salvo 21 kali sebagai penghormatan kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang berkunjung ke Riyadh.

Kedatangan Putin langsung disambut Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman melalui jabat tangan erat, yang membawa sejumlah kesepakatan bilateral.

Tak hanya itu, lawatan Putin membuat kajian strategis Timur Tengah harus dikalibrasi ulang mengingat Arab Saudi sejak lama bersekutu dengan Amerika Serikat (AS).

Seberapa dalam kedekatan Arab Saudi dengan Rusia, dan mengapa?


Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, Presiden Putin bertandang ke Arab Saudi dengan berjalan di atas karpet merah. - Reuters

Apa yang terjadi?

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, Presiden Rusia Vladimir Putin bertandang ke Arab Saudi. Dalam lawatannya yang langka ini, ia membawa delegasi besar yang terdiri dari para pejabat perdagangan, keamanan, dan pertahanan.

Lebih dari 20 kesepakatan bilateral Rusia-Saudi senilai US$2 miliar (Rp28,3 triliun) ditandatangani dan diumumkan Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) kemudian.

Antara lain:

  • Perusahaan minyak negara Saudi, Aramco, membeli 30% saham Novomet, pemasok peralatan minyak Rusia.
  • Arab Saudi menanam modal sebesar US$600 juta (Rp8,5 triliun) pada bisnis penyewaan pesawat Rusia
  • Penjajakan kerja sama antara perusahaan gas alam Rusia, Gazprom, dengan perusahaan-perusahaan Saudi.

Kerja sama kedua negara tidak terbatas pada kesempatan itu. Pemerintah Arab Saudi mengundang pemerintah Rusia untuk berpartisipasi dalam penyelidikan serangan rudal dan drone terhadap berbagai fasilitas minyak Saudi pada 14 September lalu.

Diskusi pertahanan kedua negara mencakup kemungkinan pembelian dan penempatan sistem pertahanan rudal udara buatan Rusia, S-400. Jika ini terjadi, Washington DC dinilai bakal mengalami pukulan telak.

Baru-baru ini AS mencoret Turki dari program pengadaan pesawat tempur F-35 setelah negara itu membeli S-400 dari Rusia.

Kesepakatan dagang bilateral antara Riyadh dan Moskow terus berakselerasi sejak kesepakatan pada Juni 2018 dan kerja sama terkini dalam menahan pasokan minyak dunia guna menjaga kestabilan harga.

Semua bentuk kerja sama ini merupakan penanda signifikan bahwa hubungan Saudi menghangat dengan Rusia.


S-400 merupakan salah satu sistem rudal tercanggih yang diluncurkan dari darat ke udara. - Getty Images

Mengapa hubungan kian erat?

Gamblangnya, pemerintah Arab Saudi tidak lagi percaya pada Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti sebelumnya.

Bukan berarti mereka lantas langsung percaya pada Moskow, namun rangkaian kejadian terkini di Timur Tengah membuat para petinggi Arab Saudi berpikir ulang.

Kejutan pertama terjadi pada rentetan demonstrasi yang melanda Dunia Arab pada 2011, alias Arab Spring.

Warga Saudi dan warga kerajaan-kerajaan lainnya di Teluk Arab kaget bukan kepalang ketika negara-negara Arab dengan cepat menelantarkan sekutu lama mereka, Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Sebaliknya, warga Saudi melihat bagaimana Moskow dengan setia membela sekutunya di Timur Tengah, Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Kejutan berikutnya muncul tatkala Presiden AS Barack Obama mendukung kesepakatan nuklir Iran pada 2015, yang membuat para petinggi Saudi sangat tidak nyaman.

Mereka menduga bahwa Gedung Putih di bawah Barack Obama tidak lagi berminat pada kawasan tersebut.


Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan dengan putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, di sela-sela pertemuan G20 di Osaka, Jepang, Juni lalu. - Reuters

Saat Donald Trump baru terpilih menjadi Presiden AS dan memilih Riyadh sebagai tujuan pertamanya dalam kunjungan kenegaraan pada 2017, orang-orang Arab Saudi gembira.

Hubungan dengan Washington DC kembali ke jalurnya dan kesepakatan bernilai miliaran dolar AS diumumkan kemudian.

Namun, selanjutnya terjadi pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi oleh agen-agen Saudi pada Oktober 2018.

Curiga atas keterlibatan putra mahkota Mohammed Bin Salman (MBS), para pemimpin negara Barat tidak terlihat bertemu dengannya—setidaknya di hadapan publik. Pada pertemuan G20 di Buenos Aires, dia tampak dijauhi.

Hanya satu pemimpin negara yang berjabat tangan dengan MBS. Dia adalah Vladimir Putin.

Walau Presiden Trump telah melobi para petinggi Saudi demi membina hubungan baik antara kedua negara, mereka risau dengan perilakunya yang tak terduga dan pendekatannya yang `nyentrik`.

Pekan ini, Duta Besar Saudi untuk Inggris, Pangeran Khalid Bin Bandar, menyebut serangan Turki ke Suriah bagian utara (yang dipicu oleh keputusan Trump menarik mundur pasukan AS di sana) sebagai "bencana".

Ketika ditanya mengenai hangatnya hubungan Riyadh dan Moskow, sang pangeran menjawab bahwa "Rusia sering kali memahami Timur lebih baik ketimbang yang dilakukan Barat".


Presiden Suriah, Bashar al-Assad, mendapat sokongan Rusia sejak perang sipil dimulai di negara itu. - AFP/Getty

Perang sipil di Suriah telah berlangsung selama delapan tahun dan Rusia senantiasa menyokong rezim Bashar al-Assad dengan memasok perangkat senjata termutakhir sekaligus mempertahankan pangkalan militer Rusia di sana.

AS di bawah Presiden Trump, di sisi lain, tampak sedang bersiap angkat kaki meskipun sempat menambah jumlah pasukan untuk memperkuat pertahanan udara Saudi setelah peralatan yang dijual ke negara itu gagal mencegah serangan ke fasilitas minyak pada 14 September.

Intinya, Saudi dan sekutu-sekutunya di Teluk berupaya meluaskan kemitraan mereka agar tidak terlalu bergantung pada Barat.

Upaya ini adalah antisipasi kejadian di masa mendatang, apakah itu serangan rudal yang ditudingkan ke Iran (yang di masa mendatang bisa membunuh para teknisi Rusia) atau krisis diplomatik seperti insiden Khashoggi.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Semuanya perlu dipandang dalam perspektif.

Selama ini mitra keamanan utama Arab Saudi adalah Amerika Serikat. Ini berawal ketika Presiden Roosevelt bertemu Raja Abdulaziz di atas kapal perang AS pada 1945.

Pada tahun-tahun berikutnya, Arab Saudi hanya perlu menjaga minyak tetap mengalir, sedangkan AS berjanji menyediakan payung keamanan. Kesepakatan itu, walau tampak sedikit usang tapi tetap relevan.

Militer AS punya berbagai pangkalan militer di enam negara Teluk Arab. Armada ke-5 Angkatan Laut AS yang dilengkapi kekuatan nuklir dan berbasis di Bahrain, masih digdaya di kawasan tersebut.

Ketika Trump datang ke Riyadh, beragam kesepakatan bernilai lebih dari US$300 miliar tercapai; tatkala Putin datang ke kota yang sama pekan ini, kesepakatan yang tercapai bernilai US$2 miliar.

Bagaimana pun, tidak bisa diingkari bahwa aliansi di Timur Tengah sedang berubah dan meluas. Lawatan delegasi Rusia dan China akan lebih sering menyambangi Riyadh.

Amerika Serikat (AS) masih menempati kursi utama di meja Arab Saudi, namun ada lebih banyak kursi untuk negara lain yang mengitari meja tersebut.