Asia Tenggara di Tengah Kepungan ISIS
![DW/S. Petersmann](https://thumb.viva.co.id/media/frontend/thumbs3/2019/10/16/5da6941dddcd6-asia-tenggara-di-garis-persimpangan-islamis-radikal_665_374.jpg)
- dw
Zachary Abuza menilai langkah pemerintah Indonesia telah bagus. Dia menunjukkan adanya ratusan tersangka telah ditangkap sejak berlakunya undang-undang antiterorisme pada 2018.
Pihak berwenang sebenarnya telah mengenali pelaku penusukan Wiranto sebagai seorang radikal. Namun mereka tidak bisa menangkapnya tanpa ada bukti ia melanggar hukum, ujar pakar keamanan Stanislaus Riyanta kepada DW.
"Bukan kecolongan, tapi intelijen tidak bisa melakukan tindakan tapi hanya memberikan peringatan atau informasi kepada aparat penegak hukum. Ketika ada informasi, aparat penegak hukum juga tidak bisa melakukan penangkapan jika tidak ada indikasi aksi teror."
Dengan diperketatnya UU yang mempersempit ruang gerak mereka, para teroris pun menyesuaikan strategi dengan membentuk sel-sel kecil dan serangan individu yang direncanakan. "Ini membuatnya lebih sulit untuk mengidentifikasi pada waktu yang tepat."
Abuza dan Clarke, lebih kritis melihat upaya antiteroris di Filipina. Pasukan keamanan telah melakukan pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia.
Hal ini mendorong orang-orang yang memiliki dendam terhadap pemerintah di Manila untuk bergabung dalam pelukan militan Islamis. Hal yang sama berlaku untuk operasi militer di Marawi yang kemudian dieksploitasi oleh kaum radikal dalam propaganda mereka.
Masalah Sosial Bersama
Namun perjuangan melawan teroris oleh aparat keamanan dinilai tidak cukup. Peneliti Indonesia yang berbasis di Bonn, Berthold Damshäuser, yang berbicara kepada DW pada pemilu April 2019, telah mengamati "meningkatnya intoleransi" selama bertahun-tahun.
Orang-orang Indonesia khususnya yang berusia lebih muda semakin menyerukan interpretasi Islam konservatif dan mempromosikan peningkatan islamisasi di negara ini.