Mohammed bin Salman: Sang Visioner, antara Trump dan Khashoggi
- bbc
Percampuran bebas antar-jenis kelamin dalam suatu pesta sama sekali tak terpikir beberapa saat yang lalu, karena merupakan hal yang dilarang ulama konservatif.
Arab Saudi yang saya tahu dulu memiliki wajah pertapa tanpa nuansa suka cita - sebuah tempat di mana Muttawa, polisi agama, menutup kafe-kafe shisha populer di Riyadh dan memerintahkan toko-toko untuk tidak memutar musik sebagai bagian dari interpretasi ketat mereka atas hukum syariah.
Sejak menjadi putra mahkota pada 2017, MBS telah memutuskan - dengan dukungan raja - untuk membalikkan citra Arab Saudi menjadi kawasan yang menyenangkan dan bebas.
Bioskop, pengendara perempuan, hiburan publik, semuanya kini dibebaskan. MBS mengatakan, ingin membuat negerinya menjadi tempat yang lebih lunak dan lebih baik.
"Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bukanlah Arab Saudi," umum MBS pada Oktober 2017. "Setelah revolusi Iran tahun 1979, orang-orang ingin meniru model ini di berbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Kita tidak tahu bagaimana menghadapinya. Dan masalah itu menyebar ke seluruh dunia. Sekarang adalah waktunya untuk menyingkirkan itu semua."
Faktanya, Arab Saudi, negara yang sangat beretnis dan konservatif, tidak pernah menikmati pesona dan distraksi layaknya kota-kota urban Arab yang menjadi wadah bertemunya berbagai budaya, seperti Kairo atau Baghdad.
Terlepas dari itu, apa yang MBS katakan persis dengan apa yang diinginkan Amerika Serikat.
Sejak saat itu, hubungan dekat telah terjalin antara Washington dengan putra mahkota yang baru. Donald Trump memilih Riyadh sebagai negara tujuan kunjungan kepresidenannya yang pertama pada Mei 2017. Menantunya, Jared Kushner, menjalin hubungan kerja yang erat dengan MBS.
Mencoba mengadaptasi "Islam moderat", MBS mengeluarkan izin diselenggarakannya konser hingga misa Kristen Koptik.
Di negaranya, popularitasnya naik, terutama di kalangan warga muda yang sudah lelah dipimpin oleh para pemimpin yang usianya lebih tua setengah abad dibanding mereka. MBS baru berusia 34 tahun - pemimpin nasional Arab Saudi pertama yang mereka anggap `dekat`.
"Ia suka makanan cepat saji seperti hot dog, dan ia sering minum Diet Coke," ujar seorang pebisnis Teluk Arab yang namanya tak ingin disebut. MBS disebut tumbuh besar bermain gim Call of Duty dan sangat kagum dengan dunia teknologi.
Pada sebuah forum investasi di Riyadh bulan November 2018 lalu, perempuan-perempuan muda Arab Saudi mendekat dan meminta berswafoto dengan sang putra mahkota. Ia terlalu senang, sampai-sampai parasnya yang kaku dan tidak terduga justru menyunggingkan seringai bak bintang film.
"Ia adalah pemimpin yang sudah lama dinantikan di Arab Saudi," ujar Malek Dahlan, seorang pengacara internasional. "Arab Saudi belum pernah memiliki seseorang dengan karisma sepertinya sejak sang kakek, Raja Abdulaziz."
Pejalan kaki berlalu lalang di depan poster Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman pada perayaan Hari Nasional Arab Saudi ke-89 di Riyadh, 23 September lalu. - Reuters
"Kesan saya," kata Sir William Patey, yang merupakan duta besar Inggris untuk Riyadh dari tahun 2006 hingga 2010, "bahwa kebanyakan warga Saudi, khusunya yang muda, mendukung putra mahkota dan arah perjalanannya."
Dalam hal konsentrasi kekuatan MBS yang luar biasa ke dalam genggamannya sendiri, ia menambahkan: "Mereka terbiasa melihat otoritas yang lebih tersebar, namun paham bahwa perubahan besar memerlukan pengambilan keputusan yang lebih tegas."
Mantan diplomat Inggris lain yang pernah bertemu MBS dalam beberapa kesempatan - namun, seperti kebanyakan, tidak bersedia disebutkan namanya - mengatakan:
"MBS memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Ia seperti sinar matahari. Ia muncul dengan ledakan ide dan energi. Ia kadang terlalu percaya diri dan menampakkan semburat sifat amatirnya."
Namun, ada juga semburat lain yang sungguh jahat.
Berurusan dengan perbedaan pendapat
Jika harus mengkarakterisasi sikap MBS atas banyaknya reformasi sosial dan ekonomi yang ia jalankan, mungkin seperti ini: "Ikuti jalanku atau enyahlah." Sederhananya, MBS tidak mengenal perbedaan pendapat.
Para penulis blog, ulama, pengunjuk rasa hak-hak perempuan, hingga orang-orang dari ujung spektrum liberal hingga konservatif, semuanya akhirnya ditangkap di bawah peraturan `tangkap semua` yang tegas dan menghambat munculnya diskusi atau perbedaan pendapat.
Dalam laporan tahunannya, Human Rights Watch mengungkap bahwa "pemerintah Arab Saudi meningkatkan penangkapan, persidangan dan hukuman sewenang-wenang mereka terhadap para aktivis dan pembangkang yang bertindak damai di tahun 2018, termasuk penumpasan terkoordinir berskala besar terhadap gerakan hak-hak perempuan".
Tapi, bukankah ini penguasa yang sama yang akhirnya memberikan hak kepada perempuan Saudi untuk mengemudi? Ya, memang. Tapi yang menjadi intinya adalah, menurut para pengamat, bahwa MBS ingin perubahan muncul dari atas ke bawah, dari kerajaan.
Setiap saran untuk melakukan perubahan peraturan ataupun reformasi yang muncul dari gerakan jalanan yang populer, betapa kecil pun itu, dianggap berbahaya di negara yang tidak punya partai politik maupun oposisi itu.
Loujain al-Hathloul, misalnya. Terdidik, cerdas, aktif di media sosial. Ia menghabiskan hari ulang tahunnya yang ke-30 di penjara Jeddah bulan Juli lalu.
Keluarganya mengatakan bahwa satu-satunya kejahatannya adalah berkampanye agar perempuan Saudi diperbolehkan mengemudi dan untuk mengakhiri sistem perwalian ketat yang memberikan pria Saudi kendali besar atas kehidupan istri dan kerabat perempuan mereka.
Kedua aturan itu sekarang sudah diubah - perempuan bisa mengemudi sendiri dan sistem perwalian pun sudah dikendurkan.
Namun, al-Hathloul dan sejumlah aktivis perempuan lain tampaknya sudah membuat jengkel pimpinan Saudi dengan secara publik mengampanyekan suatu isu yang MBS sendiri ingin tangani sendiri. Anda tidak boleh mencoba mendesak laju perubahan di lingkungan kerajaan.
Al-Hathloul pertama kali ditangkap tahun 2014 setelah mengendarai mobilnya dari Uni Emirat Arab (UEA) ke Arab Saudi.
Pada Maret 2018, ketika mengemudikan mobilnya secara legal di UEA, ia dikabarkan diberhentikan oleh konvoi kendaraan gelap, lalu ditangkap dan dibawa kembali ke Riyahd di mana ia ditahan sebentar. Mei 2018, ia ditangkap kembali dalam upaya penumpasan gerakan hak-hak perempuan yang lebih masif.
Al-Hathloul dan aktivis perempuan lainnya mengatakan bahwa mereka telah disiksa dan ditempatkan dalam sel isolasi.
"Pada tiga bulan pertama, selama sesi interogasi, mereka menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya termasuk cambuk, sengatan listrik, pelecehan seksual," kata Lynn Maalouf, dari Amnesty International.
Pemerintah Saudi telah membantah bahwa penyiksaan terjadi di penjara atau sel polisi mereka, dan berjanji untuk menyelidiki. Namun, alih-alih para terduga pelaku penganiayaan dikenai tuntutan, justru para perempuan itulah yang dituntut.
Walid al-Hathloul, saudara lelaki Loujain yang tinggal di luar negeri, mengatakan bahwa jaksa tidak pernah menginvestigasi pengakuan tindak penyiksaan tersebut.
"Kami mengirim tiga keluhan dan mereka tidak pernah menanggapi. Jaksa penuntut mengambil kesimpulannya berdasarkan (investigasi) Komisi HAM Saudi dan bukan berdasarkan investigasi (independen) mereka sendiri."