Mohammed bin Salman: Sang Visioner, antara Trump dan Khashoggi
- bbc
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, atau dikenal dengan singkatan MBS, mentransformasi dan memodernisasi negerinya yang dikenal sangat konservatif.
Namun di saat yang sama, ia telah menyeret Saudi ke dalam perang di Yaman; memenjarakan para pengunjuk rasa hak-hak perempuan, ulama Islam dan penulis blog; serta diduga menjadi dalang pembunuhan kritikus pemerintah, Jamal Khashoggi, di Istanbul tahun lalu.
Lantas, siapa sebenarnya sosok MBS?
Si tukang catat
Jeddah, September 2013. Di bawah terik matahari Laut Merah, para penjaga istana menyingkir ketika mobil kami melewati gerbang berpengamanan ketat.
Perlu waktu berhari-hari bagi kami hingga akhirnya mendapatkan jadwal bertemu dengan putra mahkota Arab Saudi saat itu - sekaligus menteri pertahanan - Salman bin Abdulaziz.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 2004, Pangeran Salman menjabat gubernur Riyadh ketika beberapa orang bersenjata menyergap kami, tim BBC. Mereka menembak saya sampai enam kali - berharap saya tewas - dan membunuh juru kamera saya yang berasal dari Irlandia, Simon Cumbers.
Saya diberitahu bahwa sang pangeran menjenguk saya di rumah sakit, tetapi saya tidak mengingat apapun karena pada saat itu masih berada dalam kondisi koma.
Sekarang, Salman sudah menjadi raja Saudi dengan kesehatan yang melemah. Sebenarnya, pada 2013, saya bahkan sudah melihat dirinya bertumpu pada tongkat ketika kami duduk bersama di kursi emas berukir di ruang tamu istana.
Wajahnya yang lonjong dan serius kerap menyunggingkan senyuman ketika ia berbicara perlahan, dalam bahasa Inggris, dengan suara yang dalam dan bertenaga, sambil mengisahkan betapa ia menyukai London.
Dia telah melihat perubahan luar biasa. Sebagai gubernur ibu kota Saudi, Riyadh, selama lima dekade, ia menyaksikan kota itu berubah dari kota padang pasir berpenduduk 200.000 orang menjadi kota metropolitan sesak dengan penduduk lebih dari lima juta jiwa.
Sepanjang pertemuan kerajaan tersebut, saya samar-samar menyadari ada seseorang yang duduk di belakang saya, di tepi belakang ruangan, mencatat dalam diam.
Saya berasumsi - keliru - bahwa ia pasti adalah sekretaris pribadi putra mahkota. Saya melihatnya tinggi dan kekar, dengan janggut yang dipangkas rapi. Ia mengenakan bisht tradisional - jubah yang dihiasi sulaman emas yang menunjukkan pangkat dan kedudukannya.
Saat pertemuan berakhir, saya memperkenalkan diri kepada si tukang catat tadi. Kami bersalaman dan saya menanyakan siapa dirinya.
"Saya Pangeran Mohammed bin Salman," jawabnya, lalu menambahkan dengan rendah hati, "Saya pengacara. Anda baru saja berbincang dengan Ayah saya."
Saya benar-benar tidak tahu - di tengah siang hari yang panas di Jeddah, bahwa pemuda berusia 28 tahun dengan tutur kata santun dan tidak banyak dikenal itu akan menjadi salah satu pemimpin paling berkuasa sekaligus paling kontroversial yang pernah ada di jazirah Arab.
Khashoggi?
Pada 2 Oktober 2018, pukul 13.14, Jamal Khashoggi memasuki bangunan biasa berwarna krem di daerah Levent, Istanbul, Turki. Itu adalah gedung Konsulat Arab Saudi.
Wartawan terkemuka sekaligus pengkritik vokal MBS itu hanya berkunjung ke sana untuk mengambil akta cerainya yang sudah disahkan.
Namun, selagi ia berada di dalam gedung itu, ia dikelilingi oleh regu pembunuh yang terdiri dari anggota keamanan dan agen intelijen yang dikirim dari Riyadh. Ia kemudian dibunuh, dimutilasi, lalu potongan tubuhnya dibuang dan tidak pernah ditemukan.
Sementara itu, ribuan orang tewas dalam peperangan yang menghancurkan Yaman. Banyak di antara mereka tewas akibat serangan udara yang dipimpin Arab Saudi.
Ratusan warga Saudi yang mengkritik kebijakan MBS lantas dijebloskan ke penjara. Namun pembunuhan sadis Khashoggi lah yang justru membuat sebagian besar dunia menentang sang putra mahkota.
Meski dibantah pemerintah Arab Saudi, badan intelijen Barat yakin bahwa - setidaknya - kemungkinan besar MBS mengetahui rencana operasi untuk membungkam Khashoggi. Menurut sejumlah laporan,
Dalam wawancara program 60 Minutes stasiun televisi CBS yang tayang 29 September lalu, Pangeran MBS sebatas mengatakan "bertanggung jawab sepenuhnya" atas apa yang terjadi.
Dalam wawancara sebelumnya dengan PBS , ia mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi "di bawah pengawasannya". Meski demikian, pernyataan-pernyataan itu tidak sama dengan mengakui kesalahan - sesuatu yang masih ia dan pemerintahannya sangkal.
Kunci seluruh misteri pembunuhan keji itu adalah salah satu mantan penasihat terdekat MBS, mantan anggota angkatan udara berusia 41 tahun, Saud al-Qahtani.
Hingga akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya - segera setelah pembunuhan Khashoggi, atas perintah Raja Salman - ia adalah `penjaga gerbang` sang putra mahkota di lingkungan kerajaan.
Al-Qahtani disebut mengelola strategi pengawasan siber yang memantau warga Saudi baik di dalam maupun di luar negeri, menggunakan program perangkat lunak yang - menurut beberapa laporan - dapat mengubah ponsel seseorang menjadi alat penyadap, tanpa diketahui pemiliknya.
Siapa saja yang kritis terhadap kebijakan MBS akan mendapati media sosial mereka diserang menggunakan pesan-pesan kasar dan bernada ancaman.
Dengan lebih dari satu juta pengikut di Twitter, al-Qahtani mampu memobilisasi sebuah "pasukan lalat" untuk melecehkan dan mempermalukan mereka yang dianggap musuh.
Satu dari sedikit foto al-Qahtani yang dipajang sebagai foto profil Twitternya - BBC
Pada musim panas 2017, dengan penangkapan dan pemenjaraan terhadap penulis blog, aktivis demokrasi, pegiat HAM dan warga Saudi lainnya, Jamal Khashoggi tahu bahwa ia pun dalam bahaya.
Pada Juni di tahun yang sama, bulan ketika MBS diangkat menjadi putra mahkota, Khashoggi hengkang dari Arab Saudi selagi bisa dan mengasingkan diri di Amerika Serikat.
Wartawan berusia 59 tahun itu selalu menyebut dirinya patriot Saudi - ia pernah menjadi penasihat bidang media bagi duta besar Arab Saudi di London pada awal tahun 2000-an, dan saya biasa mengajaknya berbincang di kedai kopi pada masa-masa itu.
Namun setelah pindah ke AS, ia menulis kolom Washington Post dengan konten yang semakin kritis terhadap gaya otokratis MBS. Sang putra mahkota pun dibuatnya jengkel.
Khashoggi mulai mendapat telepon dari Riyadh yang mendesaknya untuk kembali ke Saudi, menjanjikannya perjalanan yang aman, bahkan jabatan di pemerintahan.