Tembaki Orangutan dengan 74 Peluru, 2 Remaja Aceh Hanya Dihukum Azan
- abc
Puluhan orangutan telah menjadi sasaran tembak senapan angin di sejumlah wilayah di Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir. Namun pelaku kejahatan terhadap satwa yang terancam punah ini hanya dikenakan sanksi hukum yang sangat ringan.
Vonis Ringan Penembak Orang Utan Hope Vonis Ringan Penembak Orangutan Hope:Hope diselamatkan petugas dari sebuah kebun sawit di Subulussalam, Aceh, dengan 74 butir peluru senapan angin bersarang ditubuhnya.
Pelaku dua remaja berusia 17 tahun dan 16 tahun, karena dinilai belum cukup umur keduanya hanya dijatuhi sanksi sosial berupa wajib azan magrib dan shalat isya di Masjid Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan NGO yang melaporkan kasus ini ke Kepolisian mengaku kecewa dengan vonis
Kasus terakhir yang tengah menjadi sorotan adalah vonis ringan yang dijatuhkan kepada dua remaja di Aceh yang menembaki seekor Orangutan betina yang belakangan diberi nama "Hope" dengan 74 butir peluru senapan.
Karena alasan secara hukum keduanya masih tergolong anak di bawah umur, pelajar sekolah menengah yang masih berusia 16 dan 17 tahun itu hanya dikenakan sanksi sosial berupa wajib mengumandangkan adzan Magrib dan Isya selama satu bulan.
Mereka harus melakukan hal tersebut di desa tempat tinggal mereka Desa Bunga Tanjung, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Vonis ini langsung menuai kecaman karena dinilai terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera di masyarakat.
Apalagi belakangan diketahui orangutan yang menjadi korban penembakan mereka buta permanen setelah kedua matanya luka terkena peluru dari senapan angin.
Seperti diungkapkan Ramadhani, Direktur Center For Orangutan Protection (COP) lembaga konservasi orangutan bermarkas di Malang, Jawa Timur ini menyayangkan kasus ini tidak dibawa ke pengadilan dan kedua pelaku dikembalikan kepada orang tuanya.
"Memang kedua pelaku masih anak-anak saya paham ada UU Perlindungan Anak, tapi tindakan yang mereka lakukan di atas kewajaran anak di bawah umur."
"Karena mereka cukup berani mengambil anak orangutan dari induknya, kemudian menembaki induknya dengan setidaknya 74 peluru senapan angin lalu mereka juga melanggar aturan penggunaan senapan angin."
"Jadi demi ada efek jera, seharusnya mereka berdua tetap diadili dan dijerat UU no 5 tahun 1990, baru sanksi hukumnya nanti disesuaikan dengan usia mereka."
"Kalau hanya dikembalikan ke orangtua seperti ini, seolah-olah UU konservasi SDA itu tidak ada."
"Sanksi ini macam guyonan saja dan makin menegaskan pemerintah tidak serius melindungi orangutan. Dalam kasus ini, negara benar-benar kalah dengan anak kecil ini." tegas Ramadhani.
Puluhan aktivis dari koalisi peduli orangutan Sumatera menggelar aksi unjuk rasa mengecam pelaku penembakan orang utan Hope di Bundaran Simpang Lima, Pusat Kota Banda Aceh pertengahan maret 2019 lalu.
Kompas
Puluhan orang-utan jadi sasaran senapan angin
Di mata COP kasus ini juga semakin menambah panjang catatan buruk mereka tentang upaya advokasi kasus penembakan orangutan dengan senapan angin.
Data yang mereka himpun dari pegiat konservasi di seluruh Indonesia selama satu dekade terakhir ada 52 kasus Orangutan yang ditembak dengan senapan angin.
"Kasus Orangutan Hope ini kejadian penembakan Orangutan dengan senapan angin yang ke-51 dari total 52 kejadian yang tercatat dan total peluru 889 peluru."
"Yang tertinggi kasus penembakan Orangutan di Kaluhara di Taman Nasional Kutan Kalimantan Tengah dengan jumlah peluru 130 peluru."
"Sanksi yang paling berat itu pada kasus Kaluhara 2 yang terjadi Februari 2018, pelakunya 4 orang dihukum 7 bulan penjara dan denda 50 juta. "
"Orangutan yang jadi korban penembakan mereka akhirnya mati setelah kami evakuasi ke Bontang, di tubuhnya ada 130 benda asing yaitu peluru senapan angin." kata Ramadhani.
Terbentur aturan
Putusan sanksi social bagi pelaku penembakan Orangutan Hope ini diterbitkan oleh Kepolisian Daerah Aceh setelah berkonsultasi dengan Instansi terkait yaitu BAPAS (Balai Pemasyarakatan) Aceh Singkil dan Dinas Sosial (PEKSOS) yang dilaksanakan di Singkil pada Senin (29/7/2019) lalu.
Ketiga instansi ini sepakat memberikan diversi atau mengembalikan pelaku kepada orang tua untuk dilakukan pembinaan dan hanya dikenakan sanksi sosial.
Hingga berita ini diturunkan pihak Kepolisian Daerah belum berhasil dimintai komentarnya mengenai putusan ini.
Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh sebagai pihak yang melaporkan kasus penembakan Orangutan Hope ini ke kepolisian juga mengaku tidak puas dengan sanksi sosial.
Namun, Sapto Aji Prabowo, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, mengatakan upaya penegakan hukum harus dijalankan sesuai koridor aturan yang ada.
"Waktu gelar perkara di kepolisian kebetulan saya ikut hadir, itu kami BKSDA dan Polda sudah sepakat untuk menaikan kasus ini ke penyidikan dan secara alat bukti kami sudah sangat kuat."
"Cuma karena pelaku dibawah umur itu secara UU Peradilan anak dan KUHAP memang harus ada rekomendasi dari Badan Pemasyarakatan."
"Mereka yang melakukan assessment dan memberikan rekomendasi. Dan rekomendasinya kedua remaja itu dikembalikan ke orang tua dan diberikan sanksi sosial."
"Jadi penyidik sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa." tegasnya.
Meski demikian Sapto Aji Prabowo mengatakan pihaknya akan memantau ketat pelaksanaan sanksi ini untuk memastikan pelaku dan warga jera.
"Ini akan kita monitor yang bersangkutan, apakah sanksi itu bisa berjalan efektif, jadi kami sudah minta kepala seksi utk memonitor mereka secara rutin."
"Kita juga akan mendatangi kampong atau desa dan sekolah mereka untuk melakukan penyuluhan dan kepedulian."
Akibat luka yang dideritanya karena menjadi sasaran tembak 74 butir peluru dari senapan angin, orang utan HOPE kini buta permanen. Dia tidak mungkin dilepasliarkan dan sangat bergantung pada perawatan pengasuh di Pusat Karantina Orang Utan di Sibolangit, Sumatera Utara.
AP
Orangutan Hope buta permanen
Jika pelakunya mendapat vonis ringan, maka perbuatan mereka telah mengakibatkan konsekwensi seumur hidup bagi Orangutan Hope.
Hingga kini Orangutan Hope masih tinggal di pusat karantina Orangutan milik Sumatran Orang tan Conservation Program (SOCP) di Sibolangit Sumatera Utara.
Castri Delfi Saragih, Communication Officer SOCP mengatakan Hope kemungkinan harus tinggal seumur hidup di pusat karantina itu dan tidak akan pernah bisa dilepas liarkan karena kedua matanya buta akibat luka-luka dari peluru senapan angin yang mengenai tubuhnya.
"Kondisi Hope sekarang memang buta, kedua matanya luka, salah satunya terkena tembak langsung, jadi kalau di karantina dia mengandalkan pendengaran dan dia tampang masih sangat trauma."
"Dia terlihat tidak nyaman dan gelisah jika mendengar suara-suara apalagi suara bayi Orangutan, karena anaknya diambil juga." tutur Castri.
LSM Center For Orang Utan Protection (COP) mencatat Hope adalah kasus penembakan orang utan ke 51 dari total 52 kasus yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
SOCP
"Jadi sehari-hari dia sangat bergantung pada perawat dan dipastikan tidak akan dilepasliarkan lagi kalau sudah buta." tambahnya.
Orangutan Hope diselamatkan petugas BKSDA Aceh pada 10 Maret 2019 lalu setelah mendapat laporan dari warga.
Ketika djumpai Hope dan anaknya sedang tersangkut di batang pohon.
Setelah diturunkan diketahui tubuh induk orang-utan itu penuh luka akibat bacokan senjata tajam maupun luka peluru senapan angin.
Belakangan hasil X-Ray menunjukan ditubuhnya bersarang 74 butir peluru senapan angin.
Ketika ditemukan mata kanan hope sudah rusak parah, dan mata sebelah kirinya juga sudah rusak akibat tembakan senapan angin.
Sementara anaknya, ditemukan dalam kondisi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati.
Kasusnya memicu keprihatinan masyarakat luas sehingga muncul petisi yang mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus ini serta menindak tegas pelakunya serta menertibkan penggunaan senapan angin di masyarakat.
Hingga kini petisi tersebut telah ditandatangani lebih dari 1.071.980 warga dari target 1.500.000 dukungan.