Kerja di Pedalaman Ubah Persepsi Orang Indonesia soal Aborijin
- abc
Bayu dan Yutthika berkendara ke Papunya dari Adelaide selama empat hari lewat Alice Springs, kota terbesar di gurun tepat di tengah benua Australia.
Papunya berlokasi 250 kilometer di barat daya Alice Springs yang menjad kota tujuan utama untuk ke Uluru yang merupakan salah satu destinasi wisata utama di Australia.
"Sebelum ke Papunya saya punya ketakutan sendiri bagaimana nantinya menghadapi orang aborijin karena biasanya mereka memang tidak seramah yang lain. Pikiran seperti ini mengarah ke rasisme," kata Bayu.
Sebelum datang ke sana, manajer toko mengirim email berisi informasi rinci tentang Papunya termasuk aturan mengemudi di jalan yang hanya satu lajur dan berdebu menuju ke sana.
Informasi rinci tentang Papunya yang diterima Bayu dan Yutthika sebelum datang ke sana.
"Kalau berpapasan dengan kendaraan lain, sama-sama mengurangi kecepatan, dan sama-sama roda kiri keluar dari jalan. Kalau bertemu dengan truk atau bus, mobil yang harus minggir dan berhenti," kata Bayu.
"Juga dijelaskan tentang orang aborijin yang punya sistem etika dan nilai yang berbeda dengan orang luar, dan kadang sulit dimengerti. Kita diminta untuk lebih peka," kata Yutthika.
Ketika tiba pertama kali di Papunya dan dikenalkan dengan situasi sekitar oleh manajer, Yutthika mulai merasakan pandangan warga yang seakan tidak bersahabat.
Toko itu menyediakan kebutuhan sehari-hari untuk komunitas aborijin yang populasinya sekitar 300 orang dan menyediakan bahan bakar untuk warga, pengunjung serta pelintas.
Toko itu dimiliki oleh komunitas dan pengelolaannya diserahkan kepada manajer.
Selain toko di komunitas itu juga terdapat klinik, sekolah, kantor polisi dan galeri seni.
Di Papunya bermuasal seni lukis kontemporer aborijin yang dikenal sebagai lukis titik (dot painting) atau Papunya Tula sejak 40 tahun lalu.