Logo ABC

Pakai Visa Turis, Peneliti Australia Dilarang Masuk ke Indonesia

Dr Ross Tapsell, akademisi Australian National University Canberra, ditolak masuk ke Indonesia karena menggunakan visa turis baru-baru ini.
Dr Ross Tapsell, akademisi Australian National University Canberra, ditolak masuk ke Indonesia karena menggunakan visa turis baru-baru ini.
Sumber :
  • abc

Beberapa bulan terakhir, sejumlah ilmuwan asing termasuk Dr Ross Tapsell dan Dr David McRae dari Australia telah ditolak masuk ke Indonesia karena diduga menggunakan visa turis untuk melakukan kegiatan terkait penelitian.

Menurut laporan surat kabar Sydney Morning Herald (SMH) hari Rabu (26/6/2019), para ilmuwan asing kini banyak menggunakan visa turis karena proses mendapatkan visa penelitian bisa berlangsung sampai enam bulan, serta banyak persyaratan yang harus dipenuhi.

Dr Ross Tapsell adalah pengajar di Australian National University (ANU) Canberra dan Dr David McRae dari Melbourne University. Keduanya dikenal sebagai pakar mengenai Indonesia atau Indonesianis.

Menurut keterangan pihak Imigrasi Indonesia kepada SMH, ada beberapa akademisi asing lainnya yang dilarang masuk ke negara ini dalam beberapa bulan terakhir.

Namun pejabat itu tidak mau menjelaskan berapa jumlah pastinya, negara asal mereka berasal dan apakah hal ini merupakan indikasi upaya mempersulit masuknya peneliti asing ke Indonesia.

ABC sudah menghubungi Dr Ross Tapsell namun yang bersangkutan menolak memberikan komentar mengenai apa yang dialaminya.

Prof Ariel Heryanto dari Herb Feith Indonesia Engagement Center di Monash University mem-posting berita ini di akun media sosialnya.

Dalam komentarnya Prof Ariel mengatakan "sebagian dari tugas saya adalah membujuk agar lebih banyak warga Australia terlibat dengan warga Indonesia dan sebaliknya."

"Namun pemerintah di kedua negara seringkali membuat tugas itu semakin susah atau lebih susah lagi," katanya.

Kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya, Prof Ariel mengaku tidak pernah mengalami kesulitan seperti yang dialami Dr Tapsell dan Dr McRae.

"Saya tidak tahu tentang pengalaman rekan lain di Monash," katanya.

"Komentar saya? Sedih bila orang dipersulit untuk mengembangkan ilmu tentang dunia di luar negerinya sendiri."

"Kita perlu saling belajar dan saling mengenal dan menghargai lintas-bangsa-negara," kata Prof Ariel.

Khusus mengenai apa yang dialami oleh Dr Tapsell dan Dr McRae, dia mengatakan hanya bisa menduga-duga alasan bahwa mereka ditolak masuk menggunakan visa turis.

"Saya sendiri kurang paham mengapa Indonesia menolak masuknya kedua rekan dari Australia itu."

"Tadinya saya kira karena musim Pemilu kemarin, Pemerintah RI mau berhati-hati."

"Tapi kalau hal yang sama terjadi sesudah Pemilu selesai, saya semakin tidak mampu menduga-duga," katanya lagi.

Selama 10 tahun terakhir, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bertanggung jawab melakukan pengecekan terhadap usulan visa penelitian yang diajukan peneliti asing.

Menurut SMH, tahun lalu Kementerian ini menyatakan akan memperketat aturan mengenai peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia.

Kemeristekdikti menolak memberikan komentar kepada SMH untuk masalah ini.

Manfaat kerja sama peneliti asing dan peneliti lokal

Di kalangan peneliti di Indonesia sudah muncul pembicaraan mengenai kurangnya manfaat yang dirasakan oleh peneliti di dalam negeri dari kegiatan yang dilakukan peneliti asing.

Penerbitan The Conversation pernah memuat artikel berjudul Riset Gaya Helikopter: siapa yang untung dari riset internasional di Indonesia?

Artikel yang dimuat bulan Agustus 2018 itu ditulis bersama oleh Budiman Minasny dari University Sydney dan Dian Fiantis dari Universitas Andalas Padang.

Artikel ini memaparkan pengalaman Dian Fiantis bekerja sama dengan peneliti luar negeri, yaitu ahli tanah dari Belgia, Malaysia, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia sejak 1993.

"Bagi Dian, ada hubungan positif antara kolaborasi riset dan hasil penelitian. Kolaborasi dengan para ilmuwan ini meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian peneliti lokal, dan meningkatkan wawasan, keterampilan dan kemampuan ilmiah.

"Kolaborasi memungkinkan para ilmuwan, baik dari negara berkembang maupun negara maju, untuk berbagi pengetahuan, keahlian, dan teknik. Kolaborasi juga mempercepat proses penelitian, dan meningkatkan visibilitas," tulis artikel tersebut.

Namun artikel ini menyatakan, ada saat-saat ketika sangat jelas bahwa peneliti internasional tidak tertarik untuk bekerja sama.

"Sebagai contoh, pada 2010 sekelompok peneliti ilmu tanah dari negara maju meminta Dian untuk membantu dan menemani mereka mengambil contoh tanah dari tanah sawah di Sumatra Barat."

"Sejak awal, jelas bahwa para peneliti luar negeri ini hanya tertarik dengan kemampuan Dian untuk menentukan atau memilih lokasi yang sesuai untuk mengumpulkan sampel tanah."

"Dian mendapat publikasi internasional dari kegiatan ini, tapi sesungguhnya tidak terlibat dalam penelitian lanjutan di laboratorium."

"Hasil penelitian ini memang dapat berkontribusi pada komunitas riset internasional; tapi itu tidak memberikan kontribusi ilmiah kepada peneliti lokal, dan temuan itu sendiri tidak berarti banyak bagi Indonesia karena hanya digunakan sebagai sebuah lokasi di daerah tropis."

"Sejak itu Dian memutuskan untuk tidak berkolaborasi dengan ilmuwan internasional yang hanya tertarik untuk mengumpulkan sampel," demikian dikutip dari artikel The Conversation.

Pemerintah Indonesia dilaporkan sedang menggodok aturan agar peneliti asing yang melakukan kegiatan di negara ini harus didampingi oleh peneliti lokal.

Aturan yang bila diloloskan ini akan semakin mempersulit dan membuat peneliti asing tidak tertarik melakukan kegiatan di Indonesia lagi.

Bagaimana tanggapan Prof Ariel Heryanto, ilmuwan asal Indonesia yang sekarang justru bekerja di institusi Australia mengenai hal ini?

"Menurut saya di banyak masyarakat pascakolonial (bekas-terjajah) masih ada perasaan serba curiga, khawatir, dan takut (sekaligus perasaan yang bertolak-belakang: takjub, terpesona dan kagum) pada masyarakat-masyarakat lain dari luar, khususnya dari Eropa/Amerika yang pernah menjajah," katanya.

"Perasaan demikian wajar. Tapi hendaknya dikelola secara proporsional dan tidak berlebihan, sehingga menumbuhkan kembali mentalitas kolonial dan anti-kolonial berpuluh-puluh tahun sesudah merdeka dari kolonialisme," papar Prof Ariel Heryanto.