Mahasiswa Indonesia di Taiwan Bantah Ada Kerja Paksa dan Makan Babi

Ilustrasi belajar
Sumber :
  • Pixabay/CC0 Public Domain

VIVA – Sejumlah mahasiswa asal Indonesia di Universitas Hsing Wu, Distrik Linkou, New Taipei, Taiwan, membantah kabar tentang dugaan kerja paksa di negeri tersebut.

48 Tahun Taiwan Technical Mission di Indonesia, TETO Dorong Peningkatan Kerja Sama Sektor Pertanian

Hartika, mahasiswa jurusan Marketing, mengatakan, sejak awal datang ke Taiwan, dia sudah diberitahukan akan kuliah sambil magang. "Kami pun menyanggupinya tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Kami ingin mandiri dan ingin membiayai uang kuliah dengan kerja keras sendiri tanpa meminta kepada orangtua lagi," ujar Hartika saat dihubungi VIVA, Kamis malam, 3 Januari 2019.

Menurut Hartika, magang kerja tersebut tergantung jurusan mahasiswa tersebut kuliah. Dia magang di sebuah perusahaan e-commerce. Mahasiswa semester satu ini menjelaskan, pekerjaan yang dijalani berbeda-beda. "Ada yang di bagian packing, scan barang masuk, scan barang keluar, mencari barang, nempelin barcode," katanya.

Denny Caknan Tampil di Barcelona, Kini Hiasi E-Billboard Taiwan

Di tempat bekerja, mereka disediakan tempat ibadah serta makanan ringan. Dia membantah soal kabar dugaan para mahasiswa Muslim dari Indonesia dipaksa makan babi. "Sama sekali enggak benar," ujar Hartika.

Soal makanan, menurut Hartika, tergantung dari diri masing-masing. Bisa atau tidaknya menjaga atau bersikap hati-hati dalam mencoba makanan. "Tidak ada pemaksaan sama sekali," katanya. 

Taiwan Klaim Tak Ada Perusahaannya Terlibat Ledakan Pager di Lebanon yang Didalangi Israel

Dia kembali menekankan, "Tidak ada yang namanya kerja paksa. Dari awal kami sudah mengetahui bahwa kami magang sambil bekerja".

Hal senada dikemukakan Wira, mahasiswa asal Indonesia lainnya. Menurut dia, berita soal dugaan kerja paksa itu adalah berita yang tidak sesuai kenyataan sebenarnya. "Kami sama sekali tidak dituntut secara paksa untuk bekerja," ujarnya saat dihubungi VIVA.  

Dia menambahkan, "Malahan yang sebenarnya adalah kami di tahun pertama tidak diwajibkan untuk bekerja, akan tetapi untuk biaya kehidupan sehari hari, sekolah menyediakan perusahaan tempat magang yang sesuai dengan jurusan masing-masing".

Soal dugaan dipaksa makan makanan tidak halal, Wira juga membantahnya. "Saya sendiri Muslim, dan pastinya saya tidak makan babi dan sebagainya, itu semua tidak benar. Malahan perusahaan yang mengingatkan kami bahwa ini tidak halal," kata mahasiswa semester satu jurusan Teknologi Informasi tersebut.

Menurut Wira, kebanyakan mahasiswa di sana lebih memilih untuk masak makanan sendiri di apartemen masing-masing. Saat ini, Wira mengungkapkan, ada sekitar 230-an mahasiswa dari Indonesia yang terdiri atas tujuh kelas berbeda di kampus tersebut.

Surat Keberatan dan Petisi

Terkait dengan munculnya berita dugaan kerja paksa itu, para mahasiswa Indonesia di Universitas Hsing Wu tersebut lantas membuat petisi. "Karena banyaknya berita hoax yang beredar, itu dapat merusak nama baik perusahaan sekaligus universitas kami," ujar Hartika.

Surat keberatan dan petisi itu ditujukan kepada pemimpin redaksi lima media, yaitu CNN Indonesia, Detik.com, Merdeka.com, VIVA.co.id, dan Taiwan News.

Dalam surat tersebut mereka mengatasnamakan seluruh mahasiswa yang sedang melanjutkan studi di Taiwan, khususnya mahasiswa Hsing Wu University yang tergabung dalam Program Industry-Academia Collaboration. 

Mereka keberatan dan tidak setuju terhadap pemberitaan dan pernyataan yang dimuat di portal berita tersebut, yaitu pada 27 Desember 2018 (Taiwan News), 2 Januari 2019 (CNN Indonesia, Detik.com, Merdeka.com, dan Viva.co.id).

Pemberitaan tersebut disebutkan mengakibatkan kegaduhan, pencemaran nama baik, pembunuhan karakter yang menimbulkan kerugian materiil dan imateriil.

Dalam surat yang dibuat pada 2 Januari 2019, mereka menegaskan tidak ada kerja paksa dan tidak ada makanan mengandung babi untuk mahasiswa. "Tidak ada kerja paksa yang dilakukan sekolah terhadap kami, tidak ada makanan yang mengandung babi disajikan untuk kami," bunyi surat tersebut yang salinannya diterima VIVA, Kamis, 3 Januari 2019 malam.

Petisi itu ditandatangani lebih dari 200 mahasiswa dari berbagai jurusan, di antaranya jurusan Tourism, Marketing, Teknologi Informasi, Informasi Komunikasi, dan Manajemen. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya