Bisakah Bimbingan Agama Islam Atasi Tahanan Ekstremis di Australia?
- abc
Imran* menjadi salah satu narapidana termuda di "Supermax", penjara dengan pengamanan paling ketat di Australia. Ia dipenjara karena tuduhan terkait aksi teror.
Ayah Imran tidak mau lagi mengakuinya, apalagi menengoknya di penjara. Amarah dan kebencian diterima oleh Imran, hingga ia bertemu Ahmed.
Ahmed Kilani adalah satu dari empat pendamping religius dari kalangan Muslim yang bekerja di penjara negara bagian New South Wales untuk mengatasi doktrin ekstremis. Mereka memberikan bimbingan spiritual kepada narapidana Muslim yang jumlahnya sedikit.
Setiap bulannya, Ahmed mengendarai mobil hingga ratusan jam melintasi negara bagian untuk mengunjungi sejumlah penjara, seperti Goulburn Supermax, Long Bay, Lithgow, Bathurst, dan penjara Oberon.
Saat ABC melakukan pembicaraan di telepon selama 10 menit, otoritas penjara memantau dengan ketat. Sebelumnya butuh waktu dua bulan untuk menyetujui wawancara dengan Ahmed.
Apa yang dilakukan oleh Ahmed bisa dianggap kontroversial, tapi ia percaya upayanya bisa mengubah hidup.
Ahmed akhirnya bisa meyakinkan ayah Imran untuk menengok anaknya di penjara. Saat berjumpa ayahnya, Imran meminta Ahmed untuk meletakkan tangan ayahnya lewat celah kecil di penjaranya.
Awalnya Ahmed ragu-ragu, karena Imran pernah mengancam membunuh ayahnya dan menyebutnya sebagai "murtad".
Dengan rasa khawatir, ayah Imrah mengulurkan tangannya, takut pergelangan tangannya akan dipatahkan. Tapi sebaliknya, Imran malah mencium dan mengelus tangan ayahnya, sebuah tanda berbakti dalam budaya Islam.
Terinspirasi dengan karakter Ahmed yang positif, Imran telah bertaubat dan berdoa.
Narapidana bisa menjadi radikal di penjara
AAP Image: Dave Hunt
"Apakah dia antek pemerintah?"
Saat pertama kali Ahmed mulai kerja sebagai pendamping religius, banyak rasa keberatan dan perlawanan dari beberapa narapidana, terutama mereka yang memiliki keyakinan ekstremis.
Salah satu narapidana paling radikal di penjara Supermax adalah Abdul*, yang seringkali penuh kemarahan dan rasa kebencian pada Ahmed, dengan menyebutnya "menjual status Muslim".
"Ada banyak masalah kepercayaan dengan orang-orang yang berada di ujung paling ekstrem dalam menjalankan kepercayaan mereka. Seperti, "Apakah dia bekerja untuk ASIO [agen rahasia Australia]? Apakah dia antek pemerintah?"," Kata Ahmed.
Akhirnya, ia memenangkan hati para narapidana seperti Abdul, dengan menggelar barbeque dan menyediakan mereka dengan buku-buku dan sajadah.
"Saya terus gigih dan menunjukkan cinta kepada mereka, tanpa menghakimi. Saya mengatakan kepada mereka sejak awal, "aturannya adalah selama mereka tidak memanggil saya murtad dan menghargai saya, maka saya mau mendiskusikan apapun," katanya.
Bisakah agama hilangkan ekstremis?
Dr Julian Droogan, seorang akademisi yang menguasai ekstremisme kekerasan, percaya narapidana bisa membuang keyakinan ekstrim dan berintegrasi kembali dengan masyarakat.
"Meskipun ekstremisme kekerasan jarang disebabkan hanya karena keyakinan agama yang ekstrem, agama dapat memainkan peran penting dalam mengoreksi beberapa propaganda yang salah dari kelompok-kelompok seperti Al Qaeda dan apa yang disebut Islamic State," katanya.
"Agama juga dapat mendorong dan mendukung ekstremis dalam menemukan tempat di komunitas agama yang positif dan identitas yang sehat dan tanpa kekerasan."
Namun, Dr Droogan mengatakan seringkali sulit bagi mereka untuk pulih secara penuh, jika keyakinan ekstremis banyak ditemukan dalam pergaulan mereka. "Jika konteks sosial ini terulang, orang dapat kembali memiliki keyakinan ekstremisme kekerasan," katanya.
Curtis Cheng ditembak hingga tewas oleh remaja yang berkeyakinan ekstrim.
Koleksi pribadi
Dukungan dari keluarga korban
Mengerahkan pendamping narapidana dari kalangan Muslim adalah hal yang kontroversial. Tapi upaya ini didukung oleh beberapa orang terdampak kejahatan yang dilakukan para narapidana tersebut.
Ayah Alpha Cheng, Curtis, dibunuh oleh seorang remaja radikal di luar markas polisi Paramatta pada tahun 2015.
Tetapi guru sekolah menengah mengatakan dia "tidak bisa membenci" Farhad Khalil Mohammad Jabar, pria berusia 15 tahun yang pergi ke masjid terdekat untuk shalat sebelum menembak ayahnya.
"Menjadi guru sekolah menengah dan bekerja begitu dekat dengan para remaja, membuat saya tersontak bahwa penembak ayah saya masih berusia 15 tahun."
"Sangat tragis dan menyedihkan bahwa seseorang pada usia tersebut, yang merupakan generasi kedua Australia, percaya bahwa tindakannya adalah sebuah solusi," kata Alpha.
"Jika kita tidak memiliki orang yang bekerja di dalam sistem penjara atau di masjid, yang ada adalah orang-orang tanpa bimbingan spiritual yang tepat. Jika tidak ada orang yang melakukannya, risikonya adalah ideologi yang negatif atau merusak malah akan terus ada di penjara."
"Namun, dari apa yang saya lihat dan alami dalam persidangan, ada sedikit harapan untuk rehabilitasi. Saya berharap bisa dibuktikan salah."
Alpha saat masih kecil bersama ayahnya, Curtis Cheng.
Koleksi pribadi
"Semua orang bisa berubah"
Ahmed memiliki keyakinan bahwa perilaku kriminal adalah hal yang kompleks, tapi melalui rehabilitasi yang lebih menyeluruh dan bimbingan dari para ahli, narapidana dapat berubah.
"Mereka adalah orang-orang yang mungkin pergi ke sekolah yang sama dengan Anda, akan bekerja dengan Anda dan naik bis yang sama, anak-anak mereka mungkin pergi ke sekolah yang sama juga dengan anak-anak Anda. Bisa jadi mereka tetangga Anda," kata Ahmed.
"Semua orang membuat kesalahan, dan semua orang bisa berubah. Dan kita harus memberi mereka semua kesempatan untuk berubah."
*Nama telah diubah untuk melindungi identitas narapidana
Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.