Luhut Melobi Uni Eropa agar Sawit Indonesia Bisa Masuk Lagi
- VIVA/Miranti Hirschmann
VIVA – Rangkaian kunjungan kerja Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan ke empat negara Uni Eropa pekan lalu diakhiri di Berlin, Jerman. Menko Luhut saat di Berlin bertemu dengan Menteri Ekonomi Jerman, Peter Almaier.
Pertemuan lalu dilanjutkan dengan pembicaraan dengan Menteri Lingkungan Jerman, Svenja Sculze, dalam pertemuan informal di Kantor Kementerian Lingkungan Jerman. Selain itu, Menko Luhut bertemu dengan pihak industri dan NGO Jerman di Hotel Ritz Carlton, Berlin pada 26 April 2018.
Dalam kesempatan itu, salah satu agenda yang dibawa Luhut adalah terkait blokade Uni Eropa terhadap sawit. Pemerintah Indonesia berupaya keras agar tidak ada larangan terhadap ekspor sawit Indonesia.
Pemerintah juga berharap agar Eropa dapat berlaku adil terhadap sawit dan produk turunan asal Indonesia.
Oleh karena itu, dijadwalkan pada 14 hingga 15 Mei 2018, di Brussels, Belgia akan diselenggarakan trialog antara Parlemen Eropa, Dewan Eropa, dan Komisi Eropa terkait energi terbarukan serta kebijakan biofuel berbahan minyak sawit termasuk membahas sawit asal Indonesia.
Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman, Arief Havas Oegroseno dalam kesempatan itu senantiasa mendampingi kunjungan Menko Luhut ke empat negara Uni Eropa. Kepada VIVA, dia mengatakan bahwa target dari rangkaian pertemuan di empat negara itu hanya satu, yaitu adanya equal treatment, yakni perlakuan yang sama terhadap berbagai jenis minyak sayur yang ada di pasar Eropa.
"Jadi tidak bisa, ia (Uni Eropa) memberikan phasing out hanya pada satu jenis vegetable oil saja, sementara yang lain tidak ditarget. Memang argumentasinya bukan banned ini phase out, ini memberikan opsi. Ini market-nya spesifik energi. Lebih spesifik lagi mixed biofuel dan spesifik lagi ada empat vegetable oil. Nah, kenapa dari empat jenis ini ada satu yang di-exclude? Kalau tujuannya mengurangi, ya semuanya dong. Target kita same treatment, fair trade under WTO," kata Arief Havas
Dubes Havas juga mengatakan bahwa dalam perjalanan tersebut, delegasi Indonesia mendapatkan informasi menarik dan beragam. Salah satu delegasi yang juga mendampingi Menko Luhut dalam kunjungan tersebut adalah MP Tumanggor dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).
"Saat ini, Indonesia memiliki kapasitas produksi industri biofuel 11 juta kiloliter. Untuk produksi dalam negeri Indonesia menggunakan 3,5 juta kiloliter untuk digunakan bagi PSO. Bila digabung dengan non-PSO, jumlahnya menjadi 6 hingga 7 juta kiloliter. Jadi kami masih kelebihan kapasitas untuk dapat meningkatkan ekspor," kata MP Tumanggor.
Indonesia memulai industri biofuel atau energi terbarukan berbahan baku minyak sawit pada 2006.
Oleh karena itu, apabila biofuel berbahan sawit diputuskan tidak digunakan lagi maka Indonesia tak lagi dapat mengekspor ke negara-negara Eropa.
"Maka kemungkinan besar jumlah ekspor sawit ke luar negeri akan berkurang, oleh karena itu penggunaan dalam negeri dapat kita tingkatkan dari B20 menjadi B30 untuk mengimbangi ekspor kita," katanya.
Sementara itu, Daniel May dari Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) atau Badan Kerja Sama Internasional Jerman mengatakan bahwa semua perusahaan Jerman mitra mereka tetap menggunakan minyak sawit yang menggunakan sertifikat sustainable.
"Hampir semua perusahaan itu tidak dapat mengganti kandungan minyak sawit dengan zat lainnya. Tanpa minyak sawit sama sekali tidak mungkin. Kalau bicara tentang minyak kedelai atau minyak bunga matahari tentunya mereka punya dampak lain untuk bumi ini. Minyak sawit yang bersertifikat sustainable adalah yang terbaik," kata May.
Hal ini sejalan dengan Amsterdam Declarations terkait deforestasi dan sustainable palm oil yang ditandatangani oleh delapan negara pada 7 Desember 2015. Negara-negara tersebut adalah Norwegia, Italia, Denmark, Jerman, Belanda, Inggris, Italia, dan Prancis.
Menurutnya, Jerman masih membutuhkan minyak sawit untuk berbagai produk antara lain kosmetik, produk perawatan kulit, produk pembersih rumah tangga juga produk pangan.
Laporan: Miranti Hirschmann / tvOne Berlin