Di Balik Kehidupan Pekerja Nomaden Kaum Milenial
- abc
Hari-hari biasa pekerja digital Brie Moreau di Bali tampaknya sudah cukup membuat pekerja kantoran cemburu berat.
"Saya pergi berselancar, lalu kerja di tepi kolam renang, dipijat, pulang dan pembantu sudah membersihkan rumah, minum air kelapa di sore hari. Lalu diulangi lagi," ujarnya kepada ABC.
Kini semakin banyak generasi muda di negara Barat yang menjadi "nomaden digital". Mereka menyerbu negara-negara yang berbiaya murah di Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Selatan.
Mereka menghindari mahalnya harga sewa rumah di negara asalnya. Juga gaji yang stagnan dan gaya hidup itu-itu saja.
Dan karena perekonomian kian bergerak secara online, makin banyak perusahaan yang sadar bahwa pekerja jarak jauh membebaskan mereka dari berbagai biaya seperti yang diperlukan untuk pegawai kantoran.
"Kami menyebutnya "nomaden digital", tetapi sebenarnya kami hanyalah imigran," kata Oli Canavan, 26 tahun.
"Ketika orang Barat menyerbu negara-negara Timur, kita menyebutnya nomaden digital. Tapi ketika orang Timur datang ke negara Barat, mereka dijuluki imigran," tuturnya.
Dalam liburannya ke Palawan di Filipina, Oli Canavan langsung memutuskan meninggalkan pekerjaannya di bidang pemasaran yang tak menggairahkan. Dia mendirikan perusahaan tur dengan warga setempat.
Setahun kemudian, ia telah mengelola Big Dream Boat Man secara jarak jauh dari Bali, menikmati gaya hidup yang berbeda dengan kerjaan sebelumnya di perusahaan yang penuh tekanan.
Bagi mereka yang terjebak di bilik kantoran di negara-negara Barat, gaya hidup pekerja nomaden ini bisa terasa seperti menipu.
Photo: Kawasan wisata Palawan di Filipina. (Supplied)
Apakah mereka bayar pajak?
Pertanyaan yang paling sering diajukan para pengeritik yaitu, dimana para milenial ini membayar pajak?
Seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan pajak, jawabannya tentu tidak sederhana.
Sebagian besar kaum nomaden ini hanya membawa pekerjaan bersama mereka dan tetap membayar pajak kepada pemerintah negara asalnya.
Ada kemungkinan bahwa mereka dapat menghindar dari pajak.
"Saya biasanya bepergian dengan visa turis dan tidak tinggal cukup lama di satu negara untuk dianggap sebagai penduduk. Karenanya saya tidak membayar pajak dimana pun," demikian dikatakan seorang nomaden di salah satu forum digital.
Menjadi pembayar pajak non-residen lebih kompleks lagi. Bukan sekadar meninggalkan suatu negara untuk waktu lama. Menggunakan rekening bank Australia atau menyewakan dan memiliki properti Australia berarti seseorang masih dianggap "penduduk" meski sudah di negara lain. Tapi secara teoritis mungkin.
Ada juga pajak perusahaan. Sejumlah nomaden piawai memindahkan struktur usahanya ke luar negeri demi pajak perusahaan yang lebih rendah seperti di Singapura dan Hong Kong.
Photo: Brie Moreau bersama rekan-rekannya di Bali. (Supplied)
"Perusahaan startup tidak bertahan di Australia karena sistem pajak capital gain yang tak menarik," kata Brie Moreau, yang menjalankan konferensi pemasaran digital, mempekerjakan 10 orang di seluruh dunia.
"Kita melihat brain drain karena tidak menguntungkan berada di Australia dengan alasan finansial. Nomaden digital merupakan awal perpindahan uang dari Australia dan negara Barat lainnya," tuturnya.
Menguntungkan perusahaan
Beberapa nomaden digital berbagi kiat "offshoring" serta cara meminimalkan pajak melalui grup di Facebook. Banyak yang menganggap membayar pajak ke negara yang tak mereka tinggali atau bukan tempatnya bekerja, merupakan hal yang tidak adil.
"Saya tak masalah membayar pajak ke Australia. Perusahaan saya didirikan di Australia dan membayar pajak," kata Moreau.
"Tetapi saya pikira saya tidak harus membayar 30 persen pajak perusahaan dan berurusan dengan birokrasi perpajakan Australia di saat saya tidak tinggal di sana dan klien saya berada di negara lain," tambahnya.
Konsultan teknologi Michael Tremeer bekerja untuk "mengoptimalkan" tagihan pajaknya, tetapi melihatnya dalam kaitannya dengan layanan Australia yang akan digunakannya sepanjang hidupnya.
"Saya pernah ke kuliah, saya menggunakan Medicare (jaminan kesehatan pemerintah). Australia telah berbuat baik untukku. Jadi saya tidak keberatan menunaikan kewajiban saya," katanya.
Photo: Konsultan teknologi Michael Tremeer membawa keterampilan yang dipelajarinya di negara lain ke Australia. (Supplied)
Tetapi bagi Moreau, konsep hubungan seumur hidup dengan satu negara, bertentangan dengan masa depan yang ia bayangkan.
"Apakah Anda wajib bayar pajak ke suatu negara seumur hidup karena Anda tinggal di sana untuk jangka waktu tertentu?" katanya.
"Saya tidak menggunakan pelayanan umum di Australia namun saya membayar pajak bagi mereka," tambahnya.
Pulang ke rumah ibu
Pertanyaan lebih besar dari itu adalah: bagaimana menyatakan "tempat" suatu pekerjaan digital dilakukan? Pemerintah mana yang berhak menarik pajak dari pekerjaan yang dilakukan di dunia maya? Dalam ekonomi global, apakah sistem pajak nasional masih masuk akal?
"Ini permasalahan besar bagi otoritas pajak dan sebagian besar pemerintahan," kata Professor Antony Ting dari di University of Sydney.
"Sistem pajak dirancang sebelum adanya internet. Para nomaden digital mungkin menghasilkan pendapatan kecil. Namun jika melihat gambaran lebih luas, perusahaan digital seperti Google, Microsoft, dan Apple mendapatkan pendapatan yang signifikan di Australia. Tapi sistem pajak tidak mencakup pendapatan tersebut," jelasnya.
Photo: Brie Moreau berharap bisa mendatangkan lebih banyak pekerja pemasaran digital ke Bali. (Supplied)
Bagi Canavan dan Moreau, perusahaan-perusahaan besar harus tetap jadi fokus dan bukan pada nomaden digital.
"Delapan puluh persen nomaden digital tidak menghasilkan uang. Mereka pulang ke rumah dan tinggal dengan ibu mereka dalam setahun," kata Canavan.
"Jadi, pertanyaan pajak ini tidaklah sebesar yang dipikirkan orang," ujarnya.
Berkembangnya "crypto-nomads"
Kebanyakan sistem pajak mengandalkan pekerja untuk melaporkan sendiri pendapatan mereka secara jujur. Penerapakn pajak lintas-negara bahkan lebih sulit lagi. Namun, Kantor Pajak Australia (ATO) kini berusaha melakukannya.
"Berbagi informasi antarnegara meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir melalui pertukaran data otomatis dan melalui program yang secara khusus diimplementasikan untuk meningkatkan transparansi perpajakan global," kata ATO dalam sebuah pernyataan.
Mulai September, bank-bank asing akan memberi informasi ke ATO tentang transaksi warga Australia di luar negeri sesuai aturan baru yang disebut Standar Pelaporan Umum. Secara teori, ini menyulitkan warga Australia di luar negeri untuk menyembunyikan pendapatan mereka.
Namun, seperti tindakan pajak lainnya, ini tak dapat memantau pembayaran tunai, barter atau cryptocurrency. Barter menjadi hal biasa di ruang kerja bersama. Ada yang bahkan menawarkan jasa pelatihan mata uang crypto.
"Crypto-nomads" juga meningkat, karena perdagangan cryptocurrency menawarkan mata uang digital global tanpa biaya transaksi atau nilai tukar yang tinggi.
Saat ini masih sedikit perusahaan menerima pembayaran dalam cryptocurrency bagi nomaden digital dibandingkan perbankan biasa. Tetapi di masa depan, mungkin saja nomaden digital dapat beroperasi secara independen terlepas dari bank, tersembunyi dari otoritas pajak - kecuali otoritas pajak mengejar mereka.
Photo: Oli Canavan menjalankan usahanya di Filipina dari Bali yang memiliki internet lebih baik. (Supplied)
Bagaimana dengan warga setempat?
Jika ditanya apakah nomaden digital membantu negara tuan rumah, mereka dengan antusias menjawabnya.
Misalnya menjadi bekerja sukarela di masyarakat setempat. Mendatangkan keterampilan baru. Membelanjakan uang dalam perekonomian lokal. Membayar pajak setempat untuk penjualan, penginapan dan transportasi - meskipun biasanya bukan dalam pajak peghasilan atau pajak perusahaan, meskipun bekerja dari negara tersebut.
Jika warga setempat yang ditanya, mungkin jawabannya berbeda.
Benar, para nomaden itu menyuntikkan dana ke perekonomian lokal, tetapi ini juga bisa merugikan warga setempat - terutama terkait sewa tempat tinggal. Pada 2017, Eropa dilanda protes karena penduduk setempat menyalahkan aplikasi penyewaan tempat tinggal Airbnb karena menaikkan harga sewa.
"Itu cerita lama. Awalnya para seniman datang, kemudian datang yuppies sehingga para seniman harus pindah. Sama saja di sini: nomaden digital pindah ke suatu tempat, lalu para turis datang, kemudian para nomaden digital harus pergi," katanya lagi.
"Dulu seniman bisa pergi dan tinggal dimana saja dan membuat peralatan sendiri. Sekarang Anda bisa menjadi seniman dengan komputer," jelasnya.
"Nomaden digital adalah artis yang tidak bisa melukis," tambahnya.
Para nomaden berpendapat bahwa mereka membawa keterampilan baru ke negara tuan rumah. Masuknya yuppies teknologi telah menjadikan pulau ini dijuluki "Silicon Bali". Pembagian keterampilan menjadi kunci bagi etos nomaden, tetapi seberapa sering penduduk lokal terlibat?
"Saya berceramah di tempat kerja bersama di seluruh Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Ada warga setempat di situ juga. Mereka bertanya dan saya selalu bersedia membantu," kata Moreau, yang menjalankan konferensi Berbagi Keterampilan Pemasaran Digital Bali.
"Tingkat keterampilan di sektor pemasaran digital di Indonesia masih rendah. Semakin banyak orang dengan keterampilan tinggi di sini, semakin menguntungkan perekonomian," jelasnya.
Namun model ini bergantung pada inisiatif ruang kerja bersama untuk mengadakan acara, warga setempat yang membeli tiket dan berbahasa Inggris. Moreau mengakui tidak semua ruang kerja bersama bersifat proaktif.
"Banyak yang hanya kantor bersama," katanya.
Apakah etis menjadi nomaden digital?
Yang terbaik, nomaden digital menjadi pembawa dana untuk perekonomian lokal. Yang terburuk, mereka menjadi neo-kolonialis, memanfaatkan biaya hidup murah.
Ahli sumber daya manusia, Angela Knox, menyatakan ragu bahwa menjadi nomaden digital yang etis itu mungkin terjadi.
"Bahkan jika mereka berhati-hati dalam membelanjakan uang di sana, itu akan menaikkan biaya bagi penduduk setempat," ujarnya.
Kesulitan hidup para nomaden bisa jadi pembatas bagi orang Barat untuk melakukan hal sama. Untuk setiap kenikmatan air kelapa di sore hari, misalnya, ada urusan visa yang rumit di baliknya.
"Pekerjaan jarak jauh tidak mulus begitu saja," kata Knox, profesor dari University of Sydney.
Menurut dia, ruang kerja bersama terbuka, teknologi yang tak dapat diandalkan dan perbedaan zona waktu dapat membuat nomaden tidak produktif.
Knox yakin pihak perusahaan dapat berbuat lebih banyak untuk menghentikan orang muda cerdas meninggalkan Australia.
"Salah satu alasan utama mereka pergi adalah karena mereka tidak mendapatkan pekerjaan tetap. Orang juga akan berpikir dua kali untuk pergi ke tempat lain jika upah di sini lebih menarik," katanya.
Namun dalam banyak kasus, kaum nomaden dapat pulang membawa keterampilan dan koneksi baru yang tidak dapat mereka temukan di negaranya.
Tremeer misalnya. Ketika menjadi nomaden digital, dia bertemu idolanya dengan menghadiri diskusi dan lokakarya di Eropa.
Sekembalinya ke Gold Coast, Tremeer menggunakan keterampilannya untuk membantu rumah sakit Queensland dalam mendiagnosis penyakit dengan menggunakan kecerdasan buatan.
Photo: Oli kini menjalankan perusahaan tur di Palawan. (Supplied)
Jadilah seperti Simba
Bagi Canavan, reintegrasi merupakan kunci untuk menjadi "nomaden etis". Dia menjelaskannya dengan merujuk cerita Lion King.
"Menjadi nomaden digital sama seperti saat Simba pergi ke dunia Hakuna Matata, dan menikmati beberapa tahun kehidupan yang mudah, bebas dari rasa khawatir. Namun akhirnya, dia berhenti makan ulat dan kembali membenahi kerajaannya. Saya kira itu jalan paling sehat: Anda kembali dan menjalani tujuan hidup Anda," ujarnya.
Namun ada peringatan:
"Tidak semua orang pulang. Anda mendapati orang di sini yang megelola bar dan selalu mabuk. Mereka sudah berada di sini 30 tahun. Kita harus hati-hati agar tidak hilang selama-lamanya di surga," katanya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.