Brexit, Waspada Ekonomi Indonesia Bisa Terguncang
- www.thesun.co.uk
VIVA.co.id – Keluarnya Inggris dari Uni Eropa diperkirakan berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal tersebut dikatakan ekonom senior, Dradjad H Wibowo. Dia menilai, Indonesia akan terpukul akibat dari peristiwa ini.
"Indonesia akan cukup terpukul oleh Brexit dan efek dominonya," ujar Dradjad, dalam keterangan persnya, Jumat, 24 Juni 2016.
Mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, Brexit adalah salah satu pukulan terbesar bagi pasar keuangan global.
Dia mengatakan, saham bank-bank besar UK, seperti Barclays dan RBS rontok 17 persen. Bahkan, kata Drajad, sempat 30 persen pada sesi awal bursa.
Padahal, menurut Dradjad, London adalah salah satu pusat keuangan dunia. Ini baru awal. Sekarang, katanya, partai-partai kanan di Prancis, Italia, Belanda, mulai menyerukan referendum yang sama. Prancis dan Italia adalah perekonomian kedua dan ketiga terbesar di Eropa.
"Singkatnya, volatilitas, ketidakpastian dan risiko global naik drastis. Biasanya, jika sudah demikian, dana-dana akan lari ke aset-aset yang dianggap aman. Mungkin lari ke AS, sampai jelas siapa yang jadi Presiden AS yang akan datang," jelasnya.
Dengan situasi ini, kata Drajad, di sinilah dampaknya bagi perekonomian Tanah Air. Indonesia diprediksi akan menjadi korban.
"Karena kita hanya pemain yang sangat kecil di dunia. Harga utang pemerintah dan swasta makin mahal. Ekspor makin terpukul karena pasar Eropa terguncang, sementara China belum pulih. Penerimaan pajak makin berat naiknya, karena kinerja perusahaan melemah," Drajad menjelaskan.
Memang, menurut Dradjad, terlalu awam untuk menganalisis, mengingat peristiwa seperti ini baru kali ini terjadi. Walau demikian, tidak ada salahnya jika pemerintah Indonesia menyiapkan diri.
"Kencangkan ikat pinggang melalui disiplin anggaran, dan bantu perusahaan-perusahaan Indonesia semaksimal mungkin untuk menjaga kinerjanya," katanya.
Dradjad menuturkan, pemerintah dan dunia usaha harus bersatu menghadapi volatilitas, ketidakpastian, dan risiko global, yang melonjak.
"Jangan lupa proses negosiasi keluarnya UK bisa memakan waktu dua tahun. Banyak sumber risiko ke depan," tuturnya. (ase)