Kebijakan Extraordinary Berakhir, Sri Mulyani Kembali Disiplinkan Fiskal 2023
- youtube Sekretariat Presiden
VIVA Bisnis – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memastikan, kebijakan fiskal pada 2023 akan kembali diperketat, setelah sempat dilonggarkan pada tahun 2020-2022 akibat kejadian luar biasa (extraordinary) yakni pandemi COVID-19.
Hal itu misalnya dilakukan Sri Mulyani, dengan menaikkan batas defisit anggaran untuk menangani pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi COVID-19. Termasuk, melakukan penambahan utang pada saat pemasukan negara justru sedang rendah.
Kebijakan fiskal yang extraordinary itu juga dilakukan oleh pemerintah, guna menangani dampak langsung di sektor kesehatan akibat pandemi COVID-19. Antara lain seperti mengimpor vaksin, membiayai perawatan masyarakat yang menjadi pasien COVID-19, serta untuk membiayai berbagai macam subsidi bagi masyarakat.
Baca juga:Â Di Era Transisi, Kolaborasi Semua Pihak Jadi Kunci Menuju Ketahanan Energi Nasional
Karenanya, Sri Mulyani pun menegaskan bahwa dengan mulai meredanya COVID-19, maka kebijakan fiskal pada 2023 mendatang akan kembali didisiplinkan sebagaimana acuan yang telah ditetapkan pemerintah dalam APBN 2023.
"APBN 2023 telah ditetapkan. Defisit kita di bawah 2,84 persen, sesuai dengan janji kita bahwa ekspansi fiskal yang extraordinary karena pandemi, akan berakhir pada tahun ini dan kita kembali dalam disiplin fiskal," kata Sri Mulyani dalam telekonferensi di acara 'Kompas100 CEO Forum XIII', Jumat 2 Desember 2022.
Dia pun menjelaskan alasan utama kenapa kebijakan fiskal itu harus kembali didisiplinkan sesuai acuan pemerintah pada APBN 2023 mendatang. Hal itu tak lain adalah demi mengembalikan kepercayaan pasar, terhadap kebijakan fiskal pemerintah.
"Kenapa harus kembali disiplin? Karena kalau fiskalnya enggak disiplin, confidence (pasar) akan hancur," ujar Menkeu.
Dia menegaskan, pemerintah sangat berusaha agar kebijakan fiskal bisa tetap sejalan dengan kebijakan bank sentral. Sebab, Inggris telah memberikan contoh bahwa ketika kebijakan fiskal tidak diantisipasi, terutama saat krisis ekonomi terjadi, maka hal itu akan sangat berdampak buruk bagi perekonomian mereka.
"Lihat aja Inggris. Kalau posisi fiskalnya salah, walaupun ekonominya sekuat Inggris maka akan 'nggelempang' juga," ujarnya.