‘Mendaratkan Pesawat’ di Ladang Jagung Tombiobong
- istimewa
VIVA Bisnis – Pria berkaos oblong biru dan bercelana pendek hijau tampak lunglai di sudut rumah kayu sederhana beralaskan semen tipis di dusun Tombiobong, Desa Maleo Jaya, Batui Selatan, Banggai, Sulawesi Tengah. Kala itu, Pria berumur lebih dari setengah Abad itu baru saja pulang berladang saat ditemui VIVA Bisnis dan para jurnalis dari Jakarta pada Selasa 18 Oktober 2022.
Pria itu bernama Pesawat, salah satu tokoh senior dari Suku Loinang di Dusun Tombiobong yang kini bersama anak-anaknya menetap dan tinggal di kawasan desa adat tersebut. Pesawat bersama dengan 28 kepala keluarga lainnya kini tinggal dan melakukan aktivitas berkebun di sekitar dusun seluas kurang lebih 50 hektare tersebut.
Sebelumnya, Suku Loinang dikenal terbiasa tinggal di hutan dengan pola hidup berpindah-pindah atau nomaden. Kini suku yang berasal dari Kabupaten Banggai itu perlahan mulai turun ke permukiman Dusun Tombiobong. Mereka menghuni rumah-rumah kayu dan rumah panggung yang jaraknya berjauhan yang telah disediakan oleh pemerintah daerah setempat.
Baca juga: Bangun Rumah Tahan Gempa, JOB Tomori Manfaatkan Limbah Plastik Bekas COVID-19
Pesawat bercerita sebelum dirinya bermukim di Dusun Tombiobong, kehidupan keluarganya sangat bergantung pada hasil alam dan hutan tempat tinggalnya. Di mana sumber pangannya berasal dari protein yang ada di sungai-sungai dan tanaman liar di hutan, sedangkan penghasilan lainnya adalah mencari rotan dan dijual kepada pengepul di desa.
Pria yang kini memiliki 6 anak dan 10 cucu tersebut telah menetap di dusun Tombiobing sejak 2013, tapi Pesawat mengakui tak mudah untuk tiba-tiba begitu saja menetap di satu tempat. Bahkan, ia dan anak-anaknya beberapa tahun lalu juga masih melakukan perjalanan ke dalam hutan berhari-hari untuk bertemu keluarganya yang masih tinggal di hutan dan belum mau turun ke Tombiobong.
Ia juga mengungkapkan beberapa kendala saat dirinya pertama kali harus bermukim di satu tempat, di mana Pesawat dan warga lainnya kesulitan dalam mencari sumber makanan sebelum akhirnya diperkenalkan cara bercocok tanam, ditambah sulitnya mencari sumber air bersih di dataran rendah.
Belum lagi, Pesawat dan seluruh Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Loinang tidak paham dengan sistem jual beli di perkotaan dan tidak bisa baca tulis karena belum pernah merasakan pendidikan, sehingga membuat Suku Loinang terasing dengan penduduk desa disebelahnya.
Seiring waktu, keterasingan dari KAT Suku Loinang menjadi perhatian sejumlah pihak, selain pemerintah, Relawan Aisyiyah mulai masuk ke Dusun Tombiobong pada 2017, diikuti oleh Joint Operating Body Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB Tomori), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di bawah pengawasan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Tergabung dalam tim gugus tugas penanggulangan stunting, relawan Aisyiah melakukan agenda bakti sosial dengan misi organisasi, menyasar wilayah berisiko stunting agar tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat. Dan Dusun Tombiobong dipilih karena sangat terisolasi, dengan sarana dan prasarana sangat minim dan perjalanan ke lokasi penuh tantangan.
Perlu diketahui, untuk menuju ke pemukiman KAT Suku Loingan bisa dikatakan penuh tantangan, pasalnya jalan ke lokasi tersebut harus menyeberangi sungai dengan batu-batuan besar, serta dilanjutkan dengan berjalan kaki di jalan setapak dengan penuh semak belukar.
Jika dihitung berdasarkan waktu tempuh, menuju Dusun Tombiobong membutuhkan waktu 4-5 Jam dari kota Luwuk Banggai, di mana kita harus menggunakan kendaraan roda empat sejauh lebih dari 90 kilometer dengan waktu tempuh 3 jam ke titik ujung Desa Maleo Jaya yang merupakan pemukiman transmigran asal Jawa dan Bali.
Lalu, dari desa transmigran itu, kita masih harus menggunakan kendaraan khusus 4x4 menyeberangi sungai berbatu dengan jeram yang deras, dan berlanjut jalan kaki sekitar 1 jam ke dalam menyusuri perkebunan kelapa sawit, Jagung, dan sawah.
Ketua Pimpinan Daerah (PD) Aisyiyah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Umi Inang, panggilan untuk Sri Moxa Jalamang menjelaskan saat pertama kali menginjakkan kaki di Dusun Tombiobong dirinya menemukan sekitar 85 persen warga tidak bisa baca tulis. Bahkan, ada anak perempuan berusia 12 tahun sudah menikah dini dan ditemukan penderita stunting akibat gizi buruk.
Sementara, bagi warga yang mau bersekolah dan mampu, harus belajar di desa Maleo Jaya yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman dan harus menyeberangi sungai yang tak memiliki infrastruktur jembatan. Sehingga, ketika musim hujan tiba dan volume sungai naik mereka terpaksa berenang dan memasukkan pakaian sekolah serta tas ke dalam sebuah plastik sampai ke seberang sungai.
Membuat Sekolah
Melihat situasi tersebut, Relawan Aisyiyah kemudian berpikir untuk mendirikan Taman Kanak-kanan (TK) sebagai salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan warga Dusun Tombiobong. Dan pada 2019 dengan dana yang sangat terbatas TK tersebut dibangun dengan memanfaatkan rumah singgah yang tidak terpakai.
Rahmawati Saleh, Guru TK Tombiobong pun menuturkan bahwa pada awal pembukaan dirinya masih ingat siswa TK hanya 12 anak, padahal sebagian besar anak-anak Suku Loinang tersebut sudah masuk usia SD. Dan ia pun, harus menjemput anak-anak tersebut dari rumahnya masing-masing dengan kondisi wajah dan badan anak-anak yang belum terbiasa mandi pagi.
Dan berjalannya waktu, aksi Relawan Aisyiyah ini mendapat dukungan sejumlah pihak, seperti pembangunan jembatan gantung oleh lembaga swadaya masyarakat Vertical Rescue Indonesia yang membangunkan jembatan gantung untuk motor dan jalan setapak melalui program 1.000 jembatan di daerah terpencil.
Termasuk juga program pemberdayaan KAT Loinang dari JOB Tomori yang ikut serta membangun sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan TK pada 2019, yang mengarahkan anak untuk mengenal pembelajaran dan bermain bersama. Di tambah satu bangunan lainnya yang juga disiapkan untuk siswa SD.
Community Development (Comdev) Officer JOB Tomori, Hidayat Monoarfa mengatakan program pemberdayaan KAT Suku Loinang hadir dalam merespons kebutuhan dan permasalahan masyarakat adat dan terpencil di desa-desa pengembangan sekitar wilayah operasi JOB Tomori.
Kebutuhan dan permasalahan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Program Pemberdayaan di dusun Tombiobong merupakan hasil dari pemetaan sosial pada wilayah sekitar operasi JOB Tomori. Jadi, selain di sektor pendirikan, program bercocok tanam atau kebun sahabat alam juga diperkenalkan ke warga Dusun Tombiobong.
Pengenalan program bercocok tanam ini dibuat agar penduduk suku Loinang tidak lagi kembali ke dalam hutan dalam waktu yang lama, sekaligus program ini mendukung sektor pendidikan yang diberikan kepada anak-anak agar mereka tidak tinggal sekolah ketika mereka diajak orang tuanya ke dalam hutan.
“Diharapkan mereka tidak lagi berlama-lama kembali ke dalam hutan untuk mencari rotan dengan membawa istri dan anak-anaknya. Sehingga mereka juga memiliki mata pencarian baru yaitu berkebun jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian,” kata Hidayat di Desa Tombiobong.
Eco Water Elevator
Tak Sampai di situ, guna mendukung program bercocok tanam, Hidayat mengungkapkan JOB Tomori juga memfasilitasi pembangunan penyediaan air bersih. Sebab, akses air bersih, sanitasi dan kebutuhan air untuk berkebun menjadi penyebab terjadinya stunting pada anak di daerah tersebut.
Dan akhirnya, JOB Tomori melakukan inovasi Eco Water Elevator di mana penyediaan air bersih dilakukan tanpa penggunaan listrik kepada 28 KK di Dusun Tombiobong, sekolah dan tempat ibadah. Eco Water Elevator tersebut adalah pipa air bersih yang diambil dari bak penampungan di hulu sungai yang berlokasi 2.000 meter dari dusun.
Pipa yang digunakan untuk menyalurkan air bersih dari sungai berjenis HDPE ukuran 4 inch sepanjang 960 meter. Selanjutnya, pipa 3 inch sepanjang 672 meter dan pipa 2 inch untuk sambungan ke rumah warga sepanjang 660 meter. Air yang dihasilkan mencapai 253.296 liter per detik, untuk memenuhi rumah tangga warga dusun Tombiobong.
Setelah JOB Tomori memfasilitasi sarana air bersih awal tahun ini, 28 KK Suku Loinang tak perlu lagi pergi ke sungai untuk MCK.
Sementara itu, Pesawat sangat bersyukur banyak pihak mau membantu Dusun Tombiobong bisa lebih ‘melek’ ilmu pengetahuan dan perlahan bisa beradaptasi dengan kehidupan dengan desa tetangganya.
Dia berharap bantuan yang diberikan JOB Tomori dengan menyediakan fasilitas infrastruktur bangunan sekolah dan sarana air bersih dan mengajarkan cara bercocok tanam bisa mengganti kegiatannya sehari-hari dan tidak perlu ke hutan untuk mencari rotan atau damar.
“Saya juga berharap dengan semua fasilitas yang sudah ada saat ini membuat saudara kami yang masih tinggal di gunung, mau turun dan bersama kami di sini,” ungkapnya.