Kritik Isu Kompor Listrik, Dahlan: Kurang Sentuh Kepentingan Nasional

Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faisal (Surabaya)

VIVA Bisnis – Dahlan Iskan ikut menyampaikan pandangannya terkait program konversi kompor gas ke kompor listrik. Mantan Direktur Utama PLN itu mengkritik penonjolan isu yang kurang simpatik dari awal munculnya program tersebut. 

Capai Target Swasembada Energi, Pemerintah Dorong Kolaborasi Swasta Kembangkan Listrik Bersih di Pedesaan

"Sayang, program pergantian elpiji ke kompor listrik dimulai dari isu yang kurang simpatik: untuk mengatasi kelebihan listrik di Jawa," ujar Dahlan dalam catatannya di Disway.id, dikutip Kamis, 22 September 2022.

Menurutnya, dengan isu itu, seolah program konversi itu hanya untuk kepentingan PLN. Agar PLN tidak merugi. "Agar PLN tidak dituduh salah dalam membuat perencanaan, sampai terjadi kelebihan. Atau jangan-jangan motif utamanya memang itu," kata eks Menteri BUMN itu. 

Apakah Petir Bisa Masuk Rumah? Ini 5 Fakta yang Tak Banyak Diketahui!

Dahlan mengakui, memang saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik yang sangat besar di Jawa. Pembangkit-pembangkit raksasa milik swasta selesai dibangun. 

"Unit kapasitasnya 1.000 MW/unit saja ada 4 buah. Di Banten. Di Cilacap. Di Batang ada dua, milik Adaro, di utara jalan tol Jakarta-Semarang itu," katanya. 

Terungkap, Ini Isi Pertemuan Dirut PLN dan Kepala BPI Danantara

Empat unit pembangkit raksasa itu menurutnya menjadi lambang kehebatan Indonesia yang memiliki pembangkit raksasa seperti di negara maju. PLTU terbesar yang mampu dibangun manusia. 

"PLN harus membeli semua listrik itu. Tapi PLN kesulitan menjual sampai habis. Permintaan listrik di Jawa turun. Sejak jauh sebelum COVID dan diperparah oleh pandemi. Sebenarnya tidak turun, sebenarnya naik tapi tidak sebanyak yang diperkirakan," tuturnya. 

Ekonomi Indonesia Tidak Tumbuh Sesuai Harapan

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Ambisi pembangunan itu, lanjut Dahlan, adalah ambisi Indonesia untuk maju. Saat itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen bahkan 7 persen.

"Ambisi itu tidak mungkin mungkin dicapai kalau listriknya tidak disediakan. Harus dalam jumlah yang cukup. Pertumbuhan penyediaan listrik harus 2 persen di atas pertumbuhan ekonomi yang diinginkan," ujarnya. 

Berdasarkan perhitungan itu, sambungnya, dibangun pembangkit listrik besar-besaran di Jawa. "Ternyata pertumbuhan ekonomi tidak sebesar yang diinginkan. Terjadilah kelebihan listrik di Jawa," paparnya.

Jika Tujuannya untuk Serap Kelebihan Listrik, Itu Urusan Internal PLN

Ilustrasi kompor listrik

Photo :
  • Youtube Top 5 Picks

Sebenarnya, Dahlan melanjutkan, pintar juga pihak yang membuat program penggantian elpiji ke kompor listrik jika memang dimaksudkan untuk tujuan itu agar kelebihan listrik PLN tersebut terserap. 

"Tapi kepentingannya menjadi lebih urusan internal PLN. Kurang menyentuh ke soal kepentingan nasional yang lebih besar," katanya. 

Padahal, jelas Dahlan, di balik program kompor listrik itu, ada misi besar yang mulia yang seharusnya ditonjolkan, yaitu mengatasi impor bahan bakar. 

"Mobil listrik untuk mengatasi impor bahan bakar minyak. Kompor listrik untuk mengatasi impor elpiji. Ini menyangkut ketahanan nasional di bidang energi. Juga menyangkut kemandirian energi," katanya. 

Impor elpiji, lanjut Dahlan nomor dua terbesar yang membebani negara ini dan Impor BBM adalah sang juaranya. 

"Dua-duanya bisa diatasi oleh kemampuan kita sendiri. Dua-duanya tergantung keputusan kita sendiri. Omong kosong kalau bicara ketahanan energi kalau dua hal itu tidak diatasi," tegasnya. 

Isu Kompor Listrik Malah Terkubur Persoalan Komunikasi yang Bias

Ilustrasi kompor listrik

Photo :
  • Youtube Top 5 Picks

Dahlan menekankan, kompor listrik begitu strategis. Tapi sayang isu ini terkubur oleh persoalan komunikasi yang bias. 

"Padahal problem kelebihan listrik akan hilang sendiri mana kala pertumbuhan ekonomi membaik. Maka upaya memperbaiki ekonomi  adalah fokusnya. Sayangnya fokus itu bisa buyar oleh datangnya tahun politik. Apalagi minggu ini. Suhu itu seperti ingin mengalahkan panasnya musim kemarau," tutup Dahlan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya