Sri Mulyani: Ancaman Inflasi Kini Sensitif Bagi Politik Suatu Negara

Menteri Keuangan Sri Mulyani di FMCG G20 di Bali.
Sumber :
  • VIVA/Anisa Aulia

VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, di seluruh dunia saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan. Tantangan itu diantaranya, harga energi, pangan, dan lonjakan inflasi yang sejalan dengan permintaan meningkat namun ketersediaan barang tidak mencukupi.

5 Alasan Inflasi Tetap Terkendali Meski PPN Jadi 12 Persen pada 2025

Sri Mulyani mengatakan, inflasi yang terjadi saat ini diperparah dengan situasi geopolitik Rusia dan Ukraina yang menimbulkan dampak kenaikan harga tersebut.

“Jadi ini tripel dari sisi supply disruption, pangan dan energi. Kenaikan yang sangat tinggi inflasi ini sudah kita lihat di berbagai negara, kalau di negara maju yang belum pernah selama hampir setengah dekade infasinya mendekati 0, tiba-tiba mereka menghadapi inflasi,” ujar Sofitel Nusa Dua Bali, Rabu 13 Juli 2022.

Pertumbuhan Ekonomi hingga Inflasi Dipastikan Terjaga PPN Jadi 12 Persen, Sistem Perpajakan Makin Kuat

Baca juga: Harga Emas Hari Ini 13 Juli 2022: Global Datar, Antam Turun

Ani begitu sapaan akrabnya mencontohkan hal itu sudah terjadi di beberapa negara maju, yaitu AS inflasi sebesar 8,6 persen, Inggris di atas 9 persen.

Jaga Pasokan Energi Perode Nataru, PIS Kerahkan 326 Armada Tanker

“Eropa dan waktu itu bicara tentang selalu deflasi sekarang sudah di atas 6 persen, Jepang juga yang biasanya deflasi juga bicara tentang inflasi. Jadi kita tidak underestimate ancaman inflasi itu selalu sangat sensitif terhadap politik di suatu negara,” jelasnya.

Maka dengan itu jelasnya, respons dari policy atau peraturan harus sangat cepat dilakukan. Dan itu juga akan dibahas pada Presidensi G20.

Ani mengatakan terdapat berbagai faktor yang mengindikasikan ketahanan suatu negara dalam menghadapi tantangan risiko stagflasi dan resesi. Adapun diantaranya, kinerja neraca pembayaran, aliran modal asing hingga jumlah cadangan devisa yang dimilikinya serta dampaknya terhadap nilai tukar rupiah.

Warga Sri Lanka antre minyak dan gas yang dirasakan mulai langka

Photo :
  • AP Photo/Eranga Jayawardena

"Kedua ketahananya akan dilihat dari perekonomiannya apakah mereka memiliki gross yang tinggi dan harga yang stabil sebelum pandemi dan survive sesudah pandemi,” terangnya.

Kemudian ketiga, negara yang belum pulih dari pandemi COVID-19 ditambah inflasi yang tinggi akan semakin menimbulkan kompleksitas pada suatu negara.  

Selanjutnya ada faktor kebijakan pemerintah fiskal dan moneternya termasuk capaian terkendalinya defisit anggaran serta utang yang terjaga rendah.

"Ini yang akan men-trigger kemungkinan terjadinya krisis di suatu negara,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya