Jokowi Sebut 60 Negara Terancam Bangkrut, Indonesia Termasuk?

Pertumbuhan Ekonomi
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Presiden Jokowi mengatakan sejumlah lembaga internasional memperkirakan bahwa akan ada 60 negara yang bakal ambruk akibat krisis ekonomi. Laporan IMF, World Bank, hingga PBB bahkan menyebut, sebanyak 42 negara sudah bergerak menuju ke arah resesi akibat ancaman krisis ekonomi tersebut.

Bahlil Akui Banyak Aspirasi dari Pengurus Agar Jokowi Jadi Pengurus Golkar

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengamini pernyataan Presiden Jokowi. Dia menjelaskan, berdasarkan laporan dari IMF, memang ada beberapa karakteristik negara yang terancam ambruk di tengah ancaman resesi dan krisis ekonomi saat ini.

"Terutama negara-negara berpenghasilan rendah," kata Andry dalam telekonferensi di Macroeconomic Outlook Bank Mandiri, Rabu 22 Juni 2022.

Bahlil Sebut Golkar Terbuka jika Jokowi Ingin Jadi Kader

Baca juga: Survei Sebut Kenaikan Harga Sudah Dirasakan Masyarakat, Apa Faktanya?

Meski tak merinci negara-negara apa saja yang dimaksud, Andry menjelaskan bahwa negara-negara yang terancam ambruk itu dipastikan karena tidak mendapatkan keuntungan dari tren kenaikkan harga komoditas global. 

Bukan Jokowi, Bahlil Tunjuk Agus Gumiwang Jadi Dewan Pembina Partai Golkar

"Jadi di tengah tren kenaikkan harga komoditas, yang mereka dapatkan hanya sisi negatifnya saja, yaitu tekanan inflasi di sektor domestiknya," ujarnya.

Selain itu, negara-negara tersebut dipastikan juga tengah mengalami beban utang yang cukup tinggi. Bahkan, data IMF mencatat bahwa ada negara yang memiliki beban utang di atas 60 persen. 

Dengan begitu, tentu saja ketika terjadi tren kenaikan suku bunga acuan global sebagaimana yang terjadi saat ini, maka hal itu juga akan meningkatkan 'cost of debt' bagi negara-negara tersebut.

"Hingga akhirnya bisa menekan sisi belanjanya. Sementara dari sisi revenue-nya, negara-negara tersebut tidak mendapatkan 'windfalls' dari kenaikan harga komoditas," kata Andry.

Ilustrasi krisis ekonomi

Photo :

Sementara untuk Indonesia sendiri, Andry menjelaskan bahwa nasib Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan 60 negara tersebut. Hal itu antara lain karena Indonesia mendapatkan keuntungan dari 'windfalls' kenaikan harga-harga komoditas global.

Posisi Indonesia mungkin akan lebih sulit jika bukan merupakan negara penghasil komoditas CPO, nikel, atau bahkan batu bara. Sehingga, lanjut Andry, faktor keunggulan Indonesia saat ini sebenarnya berasal dari kenaikan harga-harga komoditas energi tersebut.

"Sehingga Indonesia bisa menekan sisi belanja, dan akhirnya menambal defisit lebih besar lagi. Kondisi inilah yang kami pikir berbeda dari kondisi negara-negara yang terancam ambruk itu," ujar Andry.

"Jadi apakah dari berbagai indikator ekonomi Indonesia cukup aman? So far, kalau kita lihat dari apa yang kita terima dari neraca perdagangan, itu defisit-nya masih relatif cukup kecil," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya