Jadi Mainan Trader Singapura, Formula Harga BBM Perlu Dievaluasi
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Formula harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi dasar dalam penetapan harga BBM subsidi maupun batas atas dan bawah BBM Nonsubsidi dinilai perlu dievaluasi pemerintah. Sebab, harga BBM rentan permainan para trader BBM.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komite BPH Migas Periode 2017-2021, Muhammad Ibnu Fajar, dalam keterangannya kepada Media, dikutip Minggu 1 Mei 2022.
Menurut Ibnu, seharusnya biaya perolehan atau impor BBM tidak hanya berdasarkan index harga yang ditetapkan oleh lembaga pengindex seperti Platts yang menjadi dasar harga MOPS (Mean of Platts Singapore).
Baca juga: H-1 Lebaran, BMKG Prakirakan Jakarta Bakal Diguyur Hujan Siang Ini
Oleh karena hal itu, kondisi tersebut justru membuat harga BBM di Tanah Air sangat rentan dipermainkan oleh trader di Singapura, asal BBM yang dijual oleh Pertamina.
"Sebaiknya juga harus dipertimbangkan International Crude Price (ICP) terendah sebagai variabel menghitung biaya perolehan," kata Ibnu.
Ibnu menjelaskan perbaikan serta evaluasi terhadap mekanisme penyaluran BBM subsidi maupun penugasan harus dilakukan. Hal itu bertujuan menghindari masalah ketika terjadi kondisi harga minyak dunia melonjak tapi pemerintah tidak bisa banyak mencegah kerugian badan usaha usai ditahannya harga BBM.
Dengan demikian, menurut Ibnu pemerintah sebaiknya harus rela dengan kondisi di lapangan saat harga minyak dunia naik harus konsisten mengikuti perubahan biaya perolehan.
"Ini penting untuk menghindari kerugian badan usaha yang menjalankan penugasan untuk menyalurlam BBM jenis tertentu dan BBM jenis penugasan," ujarnya.
Selain dari sisi konsistensi penetapan harga, pemerintah sudah sewajarnya tidak pilih kasih dalam mengimplementasikan regulasi. Perlakuan yang equal atau sama rata untuk semua badan usaha terhadap penugasan penyaluran BBM oleh pemerintah, tidak hanya dibebankan kepada Pertamina saja.
"Volume penugasan penyaluran BBM diberikan secara proporsional kepada seluruh badan usaha berdasarkan volume penjualan mereka per tahun," ungkap Ibnu.
Selama ini hanya dua badan usaha yang memgemban tugas menyalurkan BBM tertentu atau jenis solar yakni Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk. Namun volume BBM yang ditugaskan tersebut gap-nya terlalu jauh.
Ibnu juga menyarankan agar jumlah pemberian subisidi sebaiknya tidak sama di seluruh Indonesia, melainkan diatur secara proporsional berdasarkan berdasarkan tingkat ekonomi masing-masing daerah.
Sebelumnya, BPH Migas mencatat penyaluran BBM jenis solar subsidi telah melebihi kuota. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah adanya lonjakan permintaan karena gap harga antara solar subsidi dan non subsidi terlalu jauh.
Harga solar subsidi mencapai Rp 5.150 per liter, sedangkan harga solar nonsubsidi (Dexlite) mencapai Rp 12.950-an per liter dan Pertamina Dex Rp 13.700 per liter.
Gap harga itulah yang tentunya membuat pembelian solar nonsubsidi beralih ke solar subsidi. Belum lagi penyalahgunaan oleh kendaraan tambang dan perkebunan yang membeli solar subsidi.
BPH Migas tahun ini memberikan penugasan kepada Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kilo liter (KL) BBM bersubsidi jenis Solar.
Diketahui, penetapan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 102/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 dan Nomor 103/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 tanggal 27 Desember 2021. Penetapan kuota ini telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.
Namun, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada 14 April 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengajukan usulan tambahan kuota untuk solar subsidi 2 juta KL sehingga total kuota subsidi 2022 mencapai 17 juta KL. Sedangkan BBM jenis Pertalite (RON 90) yang masuk Penugasan, dinaikkan kuotanya dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.