Diinisiasi RI, 3 Negara Kompak Buat Kekuatan Hutan untuk Aksi Iklim

Hutan tropis.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Dalam rangka memperkuat negosiasi perundingan iklim di gelaran Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Congo menyamakan persepsi dan menyatukan sumber daya. Di mana tiga negara tersebut tercatat memiliki hutan tropis terluas di dunia.

Presiden Israel Urung Hadiri KTT Iklim gara-gara Turki Larang Pesawatnya Melintas

Inisiatif tiga negara itu mengusung agenda Forest Power yang diinisiasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Congo Eve Bazaiba Masudi, dan Menteri Lingkungan Hidup Brazil Joaquim Alvaro Pereira Leite, secara virtual 22 Oktober 2021.

Inisiasi Forest Power for Climate Actions lewat kolaborasi tiga negara bertujuan menyatukan terobosan dan solusi dari sektor kehutanan untuk pengendalian perubahan iklim. 

Raja Juli dan Kapolri Ketemu Bahas Penegakan Hukum Kehutanan

Baca juga: Kemenkeu Klaim 4,1 Persen APBN untuk Atasi Perubahan Iklim

Kolaborasi ini memungkinkan ketiga negara akan bertindak sebagai pemimpin di wilayahnya masing-masing, bersama negara-negara tropis lainnya, dalam memengaruhi negosiasi iklim.

Temui Jaksa Agung, Raja Juli Koordinasi Berantas Bisnis Ilegal di Kawasan Hutan

Kolaborasi tiga negara ini juga merupakan rintisan dan akan membuka ruang bersama negara hutan tropis lainnya, dan juga membuka diri untuk bergabungnya negara-negara hutan temperate sebagai observer.

Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, agenda ini dalam rangka memperkuat pengaruh negara-negara pemilik hutan tropis luas dalam negosiasi iklim, terutama pada Konferensi Para Pihak COP26 UNFCCC di Glasgow.

Menurut Siti, kolaborasi ini akan mendengungkan kekuatan hutan dalam aksi iklim, sebagaimana layaknya tiga permata dunia yang diberkahi hutan tropis melimpah. 

Kolaborasi ini, lanjut dia, semakin memperkuat posisi tiga negara untuk  memperjuangkan solusi efektif dalam aksi-aksi iklim terutama dari sektor kehutanan. 

"Tentu saja kolaborasi ini juga sebagai ajang mempromosikan solidaritas yang dibingkai dalam upaya bersama menuju pencapaian tujuan global di bawah Perjanjian Paris, yaitu menjaga peningkatan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius dari suhu dimasa pra industri," jelas Siti dalam keterangan tertulisnya, Selasa 26 Oktober 2021.

Adapun, kata Siti, area potensial untuk kerja sama antara negara-negara hutan yang dipimpin oleh Indonesia-Brasil-Republik Demokratik Kongo akan mencakup seperti:

  1. Isu-isu seperti pengurangan deforestasi, manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 
  2. Perhutanan sosial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. 
  3. Pengelolaan dana iklim. 
  4. Administrasi pertanahan berkelanjutan. 
  5. Keanekaragaman hayati dan bioprospeksi. 
  6. Rehabilitasi dan konservasi mangrove.

Menteri LHK Siti Nurbaya di ASEANYouCAN-AMME.

Photo :
  • Dok. KLHK

Selain itu, semua area potensial yang didorong untuk dikolaborasikan oleh IBC, Indonesia sendiri telah memiliki rekam jejak yang nyata. Indonesia sudah menunjukkan kepemimpinan dengan contoh/Leading by Example yang cukup baik, bahkan salah satu yang terbaik di dunia. 

Lalu, pada isu penurunan deforestasi, kombinasi yang efektif antara kebijakan, pemberdayaan, dan penegakan hukum telah berhasil menurunkan laju deforestasi Indonesia ke tingkat terendah sepanjang sejarah. 

Bahkan, kebijakan Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden pada tahun 2019 untuk menghentikan konversi hutan alam primer dan lahan gambut yang mencakup lebih dari 66 juta hektare, di mana luasnya melebihi luas gabungan negara Inggris dan Norwegia. 

Dengan demikian, peta moratorium ini memungkinkan Indonesia untuk terus mengurangi emisi dari deforestasi, serta degradasi hutan yang melibatkan hutan primer besar dan lahan gambut. 

Peta moratorium juga mencakup bentangan habitat yang signifikan untuk beberapa spesies unggulan seperti orangutan sumatera, harimau, gajah dan badak, serta spesies orangutan Tapanuli yang baru ditemukan.

Sementara pada isu manajemen karhutla, Indonesia dengan bangga memamerkan pendekatan pengendalian karhutla terpadu yang telah berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan hingga 82 persen. 

Sementara pada saat yang sama beberapa wilayah di Amerika, Australia dan Eropa mengalami peningkatan signifikan kejadian karhutla. Indonesia juga berhasil menghindari apa yang disebut bencana ganda, yaitu kebakaran hutan yang menyebabkan asap terjadi secara paralel dengan wabah COVID-19, selama dua tahun pandemi (2020-2021).

"Indonesia juga terus fokus pada pekerjaan menakjubkan yang telah dilakukan terkait dengan perlindungan lahan gambut, yang bertujuan untuk mencegah dan menghindari kebakaran gambut. Brazil dapat memamerkan teknologi mutakhir untuk deteksi dan pencegahan kebakaran yang dimilikinya, sementara Kongo dapat berbagi pelajaran tentang inventarisasi hutan di antara isu-isu terkait lainnya," jelas Siti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya